“Gila nih kalo banjir. Lobang di jalanan nggak kelihatan.”
Chandra menggerutu di jok penumpang. Aku memperhatikan pandangan di depan. Mobil dipacu perlahan di atas genangan. Perjalanan menuju Mangga Dua masih cukup jauh.
“Tahu gini, lewat Kebon Kacang aja sih tadi.”
Yeah, Chandra. You better shut up! Daripada terus menggerutui jalanan Ibukota.
Mobil kami stuck di daerah Pasar Senen. Rumah Chandra di dekat Hotel Ibis Mangga Dua. Paling tidak, perlu waktu antara tiga puluh menit sampai satu jam lagi untuk sampai di tujuan, kalau kondisi jalan seperti ini.
Chandra membuka kaca mobil dan menyulut lagi rokoknya. Ini rokok keenam yang dia isap. Sambil mengusir kejenuhan, Chandra larut bersama dunia maya dalam ponselnya. Tangannya terampil menggesek layar sentuh. Ia manggut-manggut sesekali, mencibir pelan, menggeleng, atau tersenyum.
“Twitter rame,” komentarnya singkat.
Aku tak menyahut, karena bukan pengikut setia info-info di dunia maya. Meski Indonesia jadi salah satu yang tertinggi dalam jumlah pengguna jejaring sosial berlogo burung boncel itu, faktanya tetap ada orang-orang yang memilih untuk tak mau terjerumus ke dalamnya. Salah satunya aku.
“Bro, tahu nggak? Di Twitter lagi rame ngomongin tweet si pengacara terkenal yang ngejek Pak Wagub.”
“Gue nggak pernah ngikutin topik di social media.”
“Ah, payah lu. Jadi pengacara tuh mesti update.”
“Update, nggak harus kayak lu juga kali.”
“Paling nggak lu tahu info dong.”
Aku meninggikan pandangan, sekadar ingin tahu seberapa panjang kemacetan di depan mobil kami. Chandra masih asik dengan ponselnya itu.
“Jadi nih―,” belum selesai juga rupanya dia dengan topik Twitter-nya itu.“―Pak Wagub protes soal plat mobil yang dijual polisi ke orang umum. Terus si pengacara ini nyahut lewat Twitter. Nggak masalah deh dia ngeributin apa, yang bikin rame tuh pas dia bilang ‘apa pun platnya tetap aja Cina!’.” Chandra geleng-geleng kepala, sementara pandanganku masih lurus ke depan.
“Kok diem aja lu?” tanyanya, heran melihat reaksiku yang datar-datar saja.
“Mau ngapain? Bilang ‘wow’ gitu?”
“Shit.”
Aku menyeringai melihat muka kesal Chandra. Dia meletakkan ponselnya di atas dashboard.
“Sebagai sesama pengacara, komen dong, Bung. Ente kan ngerti hukum.”
Aku mendecak, “Kayak nggak ada kerjaan aja gue ngomongin gituan.”
Chandra memutar spion tengah ke arahnya. Dia menepuk-nepuk tatanan rambutnya, merapikan. “Kalo gue jadi Pak Wagub sih, gue bales lagi, ‘apa pun komentar yang lu bikin, tetap aja tukang kawin!’.”
Aku terbahak mendengar komentar Chandra barusan. Tampangnya saat mengucapkan komentar tadi mengesankan dia tak punya masalah apa-apa dengan rumor poligami yang meliputi si pengacara kontroversial itu. Tapi, tetap saja, muatan sindiran yang terkandung dalam komentarnya menegaskan ketidaksukaannya pada si pengacara atas isi akun jejaring sosialnya yang berbau SARA.
Chandra kembali menghirup rokoknya dalam-dalam, sambil mengusir jenuh di tengah kemacetan, ia mencari lagi ponselnya yang terselip di antara koran dan kotak CD di dashboard.
“Bro, ngomongin sohib kita nih. Elu inget nggak kalo dia pernah bilang soal Teori Paradoks?”
“Kasus yang nggak pernah terpecahkan?” tanyaku—yang kemudian mengingatkanku pada perbincangan dengan Bima beberapa tahun lalu.
“Nah!”
Chandra menutup kaca mobil sedikit, menghindari air yang mulai terpercik karena gerimis kembali turun. “Kasus yang kayak Pak Wagub dan pengacara ini termasuk paradoks nggak, kalo menurut lu?”