Seperti roda yang berotasi tanpa henti, demikian pula waktu berjalan. Kehidupan telah berlangsung sekian ribu tahun. Orang-orang menyusun kalender dan penanggalan, memberi nama pada masehi dan mereka-reka setiap sejarah yang lalu pada tanggal-tanggal yang bisa jadi tak pasti. Demikan pula hidup yang kita lewati kini.
Pernahkah kita berpikir, kapan detik pertama kehidupan dimulai? Sementara penciptaan bumi, ruang, dan waktu adalah misteri. Maka, cukuplah kita menyebut titik di mana kita menemukan segala sesuatu untuk kali pertama, sebagai sebuah awal.
Seperti yang menjadi percakapan Chandra dan aku. Semua dimulai belasan tahun lalu. Bukan awal kehidupan kami, tetapi hanya melanjutkan kehidupan yang sudah ada.
Rumah kami dibangun di atas tanah sebuah kampung. Di sana, kehidupan secara turun-temurun telah berjalan puluhan tahun lamanya. Para orang tua yang tinggal di sini, dulunya adalah anak-anak kecil yang bermain di gang-gang dan tanah merah lapang yang dipagari seng. Masa telah membawa perubahan pada status mereka. Dari anak-anak menjadi remaja, dewasa, hingga akhirnya melahirkan anak-anak yang sekarang menghuni kampung yang sama.
Sementara hidup terus berjalan, ada cerita yang terus bergerak dari waktu ke waktu. Cerita yang dituturkan dari para orang tua sebelum kami—yang kemudian menjadi dongeng tak terbantahkan dan tradisi yang harus diikuti. Cerita tersebut adalah tentang permusuhan. Perang tanpa garis penyelesaian.
Di sebuah wilayah di Johar Baru―Jakarta, kampung kami bertetangga. Kampung Awi dan Kampung Anyar. Hanya bentangan jalan raya yang menjadi pemisah keduanya, secara fisik. Namun, sesungguhnya ada garis pemisah yang tak kasat mata. Seperti batas imajiner, bahkan Google Earth tidak mampu membacanya, kecuali dibangun tembok besar seperti halnya Berlin yang membagi Jerman menjadi Timur dan Barat, atau dinding angkuh di jalur Gaza yang membatasi Israel-Palestina. Jalan beraspal ini, boleh jadi, akan menjadi sengketa kelak karena dilalui orang-orang dari kedua kampung setiap hari.
Cerita turun-temurun mengatakan, sejak dulu Kampung Awi dan Kampung Anyar berselisih, apa pun bisa jadi pemicunya. Tawuran warga, perkelahian antarpemuda, sampai persaingan bisnis dan politik hinggap di kedua kampung ini. Masalah sepele bisa jadi sesuatu yang besar. Kalau sudah bicara otonomi, warga, dan persoalannya, bisa dipastikan bentrok kembali terjadi.
Ini seperti yang Chandra katakan, segalanya bermula dari sini, dan seperti yang Bima ceritakan, segalanya tak pernah berakhir. Sesuatu yang kelak menjadi filosofi Bima sendiri tentang paradoks. Kasus tak terselesaikan. Pola yang sama. Cara yang berbeda.
* * *
Di salah satu gang Kampung Awi. November 1997
Anjing!
Aku memungut beberapa batu seukuran kepalan tangan dari jalan. Secepat mungkin berlari menyusuri gang kecil di kampung ini, mencari rute yang cukup sulit dilalui, dengan harapan beberapa anak Kampung Awi di belakang juga bakal kesulitan mengejarku.
Ada setidaknya tiga orang yang berlari dengan balok kayu dan ikat pinggang berkepala logam di tangan. Tahu alasanku memungut batu? Tangan kosong tidak akan pernah bisa menandingi pengeroyokan. Kalah jumlah dan senjata.
Kondisi genting. Seharusnya aku sudah memperkirakannya sejak kemarin kalau anak yang kupukuli beberapa hari lalu, bakal laporan ke teman-teman di kampungnya. Mestinya juga, hari ini aku nggak perlu mengantar Nuri sampai ke mulut gang menuju rumahnya.
Pertigaan di depan memberi harapan. Gang ke kanan akan menuju ke jalan utama. Gang ke kiri adalah jalan yang lebih sempit. Banyak pedagang asongan di sana karena lokasinya dekat dengan sekolah dasar. Jalan sempit dan rute yang sulit masih jadi pilihan ampuh untuk kondisi begini. Tanpa berpikir dua kali aku langsung berbelok ke kiri.
Kerumunan anak SD yang sedang mengisi perut langsung menghindar, bertebaran ke kanan dan kiri gang seperti lalat diusir hujan. Pedagang asongan mencaci. Debu dari tanah yang melekat di jalan gang mengembus ditimpa tapak sepatu. Aku menoleh sekelebat, anak-anak kampung itu masih berlari mengejar dengan tampang beringas.
“Woy! Jangan lari lu, Bangke!”
Salah satunya meneriakiku. Nggak lari? Mati aja gua di sini. Makiku dalam hati.
Usaha penyelamatan diri masih terlihat sangat panjang. Entah sudah berapa banyak penghuni gang sempit dengan rumah berdempet rapat ini yang meneriaki ulahku penuh emosi.
Tong sampah terbalik di jalanan, aku tarik paksa untuk menghalangi langkah anak-anak kampung itu. Nahas, ada seorang anak kecil yang terjungkal tertabrak salah satu pengeroyok tersebut. Entah sumpah serapah apa yang diucapkan Ibu si anak saat melihat anaknya tersungkur dan menangis di atas tanah.
Pertigaan lagi. Kiri atau kanan? Dua-duanya mengarah ke kampungku. Ah, kanan saja. Semoga ada anak-anak Kampung Anyar yang sedang nongkrong di pangkalan ojek nanti.
Tapi... apes.
Dua orang anak Kampung Awi lainnya muncul dari gang yang aku pilih. Mampus gua, dengusku dalam hati. Gerombolan di belakang sana pasti akan segera sampai. Sebentar lagi aku akan jadi bulan-bulanan mereka.