Usia anak lelaki itu sebaya denganku. Ia duduk di batu semen dengan siku bertumpu di lutut. Kaus hijau gelap berlogo Billabong yang dia kenakan terlihat kontras dengan warna kulitnya yang putih. Seingatku, Chandra punya setidaknya lima sampai enam potong kaus bermerk surfing. Ada Stüssy, Rip Curl, dan Mambo. Katanya dari Bali. Pamannya―dengan nama panggilan dalam bahasa cina yang tak aku hafal―membawakannya sebagai pesanan. Kaus tersebut sedang ngetren di kalangan remaja tahun lalu, dan sampai sekarang masih sering digunakan.
Chandra gemar mengumpulkan barang-barang yang sedang menjadi tren. Dia punya rantai yang biasa dikaitkan di dompet. Pasangan setia celana jeans di bawah lutut yang sering ia padukan dengan kacamata Oakley-nya itu. Aku bukan pemerhati mode, tetapi Bima beberapa kali menyebut identitas Chandra dengan barang-barang yang dipakainya. Mau tak mau, aku mulai hafal.
Melihat kedatanganku, Chandra langsung mendongak. Pandangannya melawan matahari, mata sipitnya semakin mengecil karena menghindari cahaya silau dari langit.
“Bima mana?” tanyaku.
“Biasa, beli racun buat kita.”
Aku tertawa. Chandra menggeser duduknya, memberi ruang sedikit untukku. Dia menunduk lagi, memain-mainkan kakinya yang diselubungi sandal bermerk.
“Kenapa lu, diem aja?” tanyaku.
“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat.
Lalu kami berdua bersisian tanpa obrolan sampai Bima muncul tak lama setelah itu. Ia menggenggam sebungkus rokok dalam kemasan merah-hitam. Menyobek segelnya dan mengambil sebatang. Serupa transaksi berbagi rezeki, Bima melempar bungkus rokok ke arah Chandra. Chandra dan aku, masing-masing mengambil sebatang. Kami memantik api dan mengisap apa yang tadi disebut ‘racun’ oleh Chandra.
“Kena juga lu sama anak Kampung Awi?” Bima menunjuk wajahnya sebagai isyarat, tanpa diberi tahu dia sudah menebak siapa yang menciptakan memar di tulang pipi sebelah kiriku. Chandra langsung menengok dan baru menyadari memar yang Bima maksud.
“Lima orang, Man. Kalah jumlah gua,” kataku.
“Main keroyokan?” tanya Bima lagi.
Aku mengangguk.
“Pengecut!” Wajah dan suara Bima langsung berubah, muak dengan perlakuan anak-anak Kampung Awi.
Chandra yang sejak tadi diam saja, sekarang pun ikut angkat bicara. “Perlu kita samperin, Bim?” tanyanya.
“Ahh, elu aja nggak bisa berantem,” sahut Bima segera.
“Tenang, gua udah punya senjata baru.”
Bima dan aku refleks mengarah ke anak lelaki bermata sipit itu.
“Semprotan lada. Gua ambil di toko nyokap, gua gerus, dan kalo mau pake tinggal dicampur air.”
Bima tertawa geli mendengar penjelasan Chandra.
“Cemen lu! Yang berantem pake gituan tuh cuma cewek.”
Aku ikut tertawa mendengar komentar Bima.
“Ini namanya mutakhir, Man. Perkembangan zaman. Kalo mau pake otot kan gua pasti kalah. Makanya gua pake otak.”
Chandra tak terima idenya ditertawakan Bima. Menurutnya, semprotan lada tersebut akan cukup berguna sebagai senjata ketika berkelahi nanti.
“Iya. Sebelum nyemprot, elu udah dibogem duluan sama mereka. Hahahaha.”
Aku dan Bima terbahak lagi. Chandra melengos masam karena idenya dijadikan bahan lelucon oleh Bima.
Bima mengisap rokoknya pendek dan berkali-kali. Ia meludah, membuang pekat nikotin yang menempel di lidah. “Kalo mereka bikin ulah sama kita sekali lagi. Gua bawa anak-anak kampung buat ngabisin mereka.”
Aku dan Chandra menatap bergantian. Bima tidak pernah main-main dengan apa yang diucapkannya.
“Kita mau ribut sama mereka, Bim? Nggak sekarang, kan?” Chandra merespons ucapan Bima.
“Kenapa lu? Takut? Tadi elu yang ngajak nyamperin mereka.” Cara Bima melihat Chandra memang datar, tapi ekspresi seperti itu justru menegaskan kalau Bima tengah sangat serius.
“Udah, Bim. Baru gua berantem kemaren, masak kita mau langsung perang lagi sama anak-anak Kampung Awi.” Aku mencoba meredakan emosi Bima yang dengan mudahnya tersulut.
“Pengecut kayak mereka mestinya dihajar. Bantai sekalian.”
Chandra bergidik ngeri. Dia tahu betul ada motivasi besar di balik emosi Bima dan segala dendamnya dengan anak-anak Kampung Awi.