Di luar kamar, suara aktivitas pagi terdengar samar.
Aku bangun, memijat-mijat leher yang sedikit pegal. Bersamaan dengan itu rasa nyeri di tulang pipi kembali terasa. Pasti luka memar itu. Efek rasa sakit biasanya memang baru muncul satu hari setelah perkelahian. Aku punya banyak pengalaman untuk itu.
Satu hingga dua menit aku hanya menopangkan kening pada kepalan tangan. Baru kemudian bangkit dari tempat tidur, keluar kamar. Saat aku melintas, di meja makan, Ayah dan Danu sudah bersiap memulai kegiatan. Ayah mengenakan seragam polisi kebanggaannya. Papan nama melekat di dada kanan. Emblem kepolisian di lengan kirinya dan tanda pangkat bergambar gerigi dua baris di bahu.
Ayah bekerja di polsek Johar Baru. SMP tempat Danu belajar berada di rute yang sama dengan kantor Ayah. Setiap pagi mereka berangkat bersama. Ayah akan mengantar Danu dulu ke sekolah, baru pergi ke polsek.
“Bang, sarapan,” sapa Danu. Sementara, tak sedikit pun Ayah mengekori keberadaanku dengan ujung matanya.
Aku tak menyahut. Langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, menyegarkan diri.
Mungkin Ayah memang sengaja melakukannya ketika Danu menawariku makan tadi, Ayah tidak menanggapi. Tapi, begitu aku keluar dari kamar mandi, suara dinginnya muncul.
“Nggak usah nawarin abangmu makan. Ayo cepat, habisin sarapannya, kamu kan mau sekolah.”
Sebisa mungkin aku tak melirik apalagi menggubris perkataan Ayah. Aku memilih kembali ke kamar. Tak lama kemudian, Danu masuk ke dalam untuk mengambil tas sekolahnya.
“Gua berangkat, Bang,” pamit Danu.
“Hati-hati,” sahutku.
Suara motor Ayah dihidupkan. Beberapa saat kemudian, kudengar pintu rumah ditutup. Motor melintas meninggalkan rumah.
* * *
Kami tinggal bertiga. Aku, Danu, dan Ayah.
Ibu meninggal lima tahun lalu. Ketika usiaku sebelas dan Danu tujuh. Ibu sakit tuberculosis, penyakit yang kemudian kami tahu telah menular kepada Danu.
Dulu, ketika Ibu masih ada, semuanya tampak baik-baik saja. Aku kurang ingat bagaimana keadaan rumah kami waktu itu, tapi sebagai anak kecil, aku menilai keluarga kami adalah keluarga yang sempurna. Ayah yang bertanggung jawab dan cinta keluarga, Ibu yang pengertian dan menjadi pendengar keluh-kesah kami semua, sementara Danu, sejak kecil telah mengambil peran untuk selalu diberi kasih sayang. Aku tak pernah keberatan. Aku menyayangi Danu dengan tulus. Aku merasa punya tanggung jawab untuk melindunginya sebagai kakak, dan itu terus berlaku sampai saat ini.
Ibu berpulang pagi itu. Mimpi buruk dalam hidup kami. Waktu itu aku tengah belajar di sekolah, Ayah sedang dinas di Kantor Polsek, sedang Danu berada di ruang kelas SD-nya. Berita dari rumah membawa kami pulang saat itu juga.
Aku ingat, di ujung pintu kutemukan orang-orang berkerudung. Kerumunan lainnya menyesaki halaman rumah. Sebagian membuat bendera kuning dari kertas minyak, sebagian lainnya mendirikan tenda dari terpal. Beberapa orang sibuk dengan prosesi pemakaman Ibu. Mereka mencari bunga, kain kafan, juga papan untuk lubang kubur, dan nisan makam.
Aku mengingat segalanya seperti memutar rekaman video di kepala. Ayah duduk lemas di sebelah Ibu. Ia tidak menangis. Mungkin air mata adalah sesuatu yang pantang baginya yang seorang polisi. Ia hanya menangis di dalam hati. Mengurai kesedihan lewat caranya sendiri.
Untuk Ibu, aku menangisi pusaranya, tapi Ayah menghentikanku. Ia bilang, ‘sudah cukup, air mata tidak akan mengembalikan Ibu’. Maka aku menyembunyikan tangisku darinya, meski aku tak mengerti maksud perkataannya saat itu. Kecuali Danu yang masih terlalu kecil yang tangisnya tetap menderu. Ia akan menangis setiap kali melihat orang menangis karena kepergian Ibu. Aku pun melakukan hal serupa seperti Ayah. Hari itu aku belajar, aku perlu menjadi kuat untuk orang yang aku sayangi.
Kepergian Ibu telah mengubah segalanya. Sejak Ibu meninggal, Ayah tak pernah menikah lagi. Praktis, segala peran rumah tangga bermuara padanya. Ayah berubah menjadi lebih keras dan tegas. Di rumah, muncul banyak peraturan. Aku dan Danu diwajibkan untuk bisa mengurus diri sendiri, meski pada akhirnya aku punya tanggung jawab ganda, yaitu untuk diriku dan Danu.
Tahun demi tahun. Tak ada yang benar-benar sama lagi kini. Beban dan tanggung jawab justru mulai jatuh di pundakku. Harus ini dan itu, melakukan ini dan itu, tanggung jawab terhadap ini dan itu. Aku tahu, karena aku anak tertua dalam keluarga, aku perlu memimpin Danu, menjadi contoh baginya. Namun, tampaknya Ayah tak pernah puas.
Beban dan tanggung jawab tersebut, kini berubah menjadi tuntutan. Ayah punya standar sendiri bagaimana harusnya tanggung jawab dikerjakan. Sekarang, aku kenal yang namanya perbandingan. Saat aku punya nilai dan Danu juga punya nilai, kami terlihat bukan lagi sebagai saudara, tetapi saingan. Ayah yang membuatnya terlihat demikian. Danu lebih dibanggakan, dan aku lebih sering dianggap pecundang. Danu yang penurut dan tak pernah membantah, aku yang pemberontak dan teguh pada pendirian sendiri.
Satu hal lagi yang aku pelajari kini, bahwa manusia tak akan pernah punya sikap adil. Kita akan cenderung membela apa yang kita sukai. Yang terjadi pada Ayah pun begitu. Bukan bagaimana Danu harus mencontoh aku, tapi bagaimana aku harus mencontoh Danu.
Kami yang pada dasarnya sudah berbeda, justru semakin sering dibeda-bedakan dan diberi nilai karena perbedaan tersebut.
* * *
Di luar pagar sekolah aku berdiri, menunggu bel akhir jam pelajaran berbunyi. Suara logam besi yang dipukul terdengar keras dan nyaring. Setelahnya gerombolan anak berpakaian putih abu-abu menghambur keluar.
Aku memunggungi kerumunan tersebut. Tujuannya hanya untuk menghindar. Biasanya, bersamaan dengan pulangnya siswa, guru pun ikut terbang meluncur ke rumah. Kebanyakan dari mereka bersepeda. Hanya beberapa yang menggunakan sepeda motor tipe bebek atau vespa berbadan besar. Kalau aku berdiri dengan wajah menghadap pagar, pasti satu dua guru akan mengenaliku. Hal tersebut bisa jadi masalah kemudian. Anak yang diskors bisa disebut aib sekolah. Sumber masalah. Kalau bertemu di jalan pun, sebaiknya tak perlu disapa.
Kaus yang aku kenakan adalah seragam kesebelasan Kampung Anyar. Bima dan Chandra pasti langsung mengenaliku meski hanya melihat punggung. Maka tak perlu waktu lama, ketika pundakku ditepuk dari belakang.
“Ngapain lu?”
Aku menoleh. Bima mengambil tas slempangnya dari tangan Chandra. Chandra sendiri sedang menyeruput minuman dalam kemasan. Ia menyodorkan kepadaku. Aku menyesapnya sedikit.
“Anak rumahan, nyari temen ke sekolah,” ledek Chandra. Aku meninju dada kanannya, bergurau.
“Nyari Nuri?” tanya Bima.
Aku menyeringai. Alis Chandra terangkat, lalu menatapku dan Bima bergantian. Mungkin ia kurang mengerti maksud Bima.
“Gua nggak percaya sih kalo alasan elu ke sini buat jemput gua sama Chandra.”
Chandra manggut-manggut, baru paham.
“Ohh, jadi elu ke sini nyari cewek? Kurang ajar lu. Gua kira ke sini pake baju bola mau ngajak kita ngadu.” Chandra ikut komentar.
“Nggak mungkin banget, Chan. Lu liat aja matanya. Kalo dia emang nyari kita, dari tadi matanya nggak muter ke mana-mana kayak copet,” terang Bima. Lagi-lagi, aku memuji kecerdasannya membaca manusia.
“Bangke lu, Am,” Chandra yang meninju lenganku sekarang.
Aku tertawa-tawa. Tahu betul kalau kedua sahabatku ini tidak sungguh-sungguh kesal.
“Di mana dia?” tanyaku.