Satu minggu masa skorsing berakhir.
Hari senin ini aku kembali menampakkan wajah untuk kali pertama di sekolah. Setelah surat panggilan sekolah sampai ke rumah minggu lalu, Ayah datang menemui wali kelas dan kepala sekolah esoknya.
Tak tahu apa yang mereka bicarakan di sana. Mungkin sekolah mendesak Ayah agar aku bisa berubah sikap. Ayah sendiri tak menyampaikan apa yang dikatakan wali kelasku dan kepala sekolah. Dia tak pernah membicarakan itu. Namun, Ayah punya cara sendiri untuk mengajariku.
Ceramah panjang lebar, sindiran, dan kadang disertai pula dengan perlakuan tidak menyenangkan. Dulu, ketika aku SMP, Ayah malah tak segan menggunakan tangannya sebagai alat untuk mendidik. Tamparan atau pukulan sering kali mampir. Belakangan cara tersebut berkurang, tapi bukan berarti sikap Ayah melunak. Ia malah semakin keras dan tegas. Hanya saja, sekarang ia lebih banyak menggunakan cara verbal. Sindiran yang tak nyaman di telinga. Membuat aku sering kali merasa tak punya nilai di matanya.
“Hei, anak baru.”
Sebuah suara membuatku memutar kepala, mencari dari arah mana sumbernya berasal.
Bima melangkah dengan seringai lebarnya. Kemeja sekolahnya tidak terkemas rapi di balik celana abu-abu dan ikat pinggang hitam. Mental luar biasa untuk menembus gerbang sekolah yang dijaga oleh guru piket.
“Udah kelar urusan lu sama sekolah?” tanyanya, sambil langsung merangkul bahuku dan berjalan melintasi koridor sebelah kiri sekolah.
“Beres. Chandra mana?”
“Paling juga telat. Bantu nyokapnya dulu buka toko,” tebak Bima, santai.
Beberapa langkah sebelum kami menaiki anak tangga menuju lantai atas, Bima berhenti.
Aku ikut menghentikan langkah, menyaksikan Bima yang sedang menatap lurus ke arah bangku taman di tepi lapangan.
“Kenapa Bim?” tanyaku, ingin tahu apa yang menarik perhatian Bima.
“Itu anak yang waktu itu berantem sama lu, kan?”
Aku mengekori tatapan mata Bima. Seorang anak lelaki berambut keriting sedang tertawa-tawa bersama kelompoknya.
“Anak Kampung Awi emang berengsek,” lanjut Bima lagi.
“Udah Man, masih pagi.” Aku menepuk-nepuk pundak Bima, berusaha meredam emosinya. Lalu mengajak dia naik ke lantai atas, menuju ruang kelas masing-masing.
Ketika kami melangkah, aku menoleh sebentar ke arah anak lelaki tersebut. Dia menatap punggung Bima, bukan dengan tatapan yang bersahabat. Rupanya dia tahu keberadaan aku dan Bima sejak tadi.
* * *
“Gua kira kenapa lu nggak masuk sekolah.” Komentar Bima menyambut Chandra ketika dia muncul dengan kaus dan celana yang sedikit kumal karena noda tepung.