PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #8

FRAGMEN 1 - AMRI. Chapter 7

Musik selalu jadi hal menarik bagiku.

Setiap orang memiliki alternatif untuk membebaskan diri dan masuk pada sebuah dunia tanpa batas. Bagiku, dunia tersebut adalah musik.

Ada kalanya aku membutuhkan ruang untuk lupa sejenak pada beban berat dalam keseharian. Segala masalah, baik di dalam maupun di luar rumah. Awalnya aku tak tahu bagaimana mencari tempat yang nyaman untuk menempatkan itu semua. Sampai aku menemukan komposisi nada dan dunia yang berbeda dari dunia nyata yang aku temui sehari-hari.

Aku bukan penggemar band-band lokal macam Base Jam atau Dewa19 yang sedang gandrung di kalangan remaja Indonesia. Atau, invasi boyband dan girlband dari Eropa dan Amerika. Aku suka musik yang lebih dalam. Musik yang kelam.

Aku penikmat sejati lagu-lagu Nirvana. Di antara semua album yang dirilis, aku paling menyukai Nevermind. Album bergambar bayi yang melayang di dalam air itu memiliki lagu-lagu yang mengantarkan pesan tentang kebebasan.

Sayang, band beraliran grunge tersebut berusia pendek. Bahkan Kurt Cobain―sang vokalis―baru berusia 27 ketika ia meninggal karena bunuh diri. Konon, ia meledakkan kepalanya dengan pistol. Cobain yang dinilai bakal mencapai puncak kesuksesan ternyata tak pernah menambah usianya lebih tua karena memilih mengambil jalan pintas. Sekarang, kaset In Utero[1] jadi kenang-kenangan untuk penggemar Nirvana setelah Cobain meninggal, walaupun Smells Like Teen Spirit tetap jadi lagu yang paling banyak dapat permintaan untuk diputar di radio.

Lagu Milk It masih berteriak dari tape tua di kamar. Aku suka lagu yang satu ini. Ada satu lirik yang kalau dibaca berkali-kali, maknanya seperti memaksa kita melihat satu titik cahaya dalam kegelapan. Look on the bright side sucide. Kesedihan, keputusasaan, dan kesia-siaan. Ungkapan yang banyak ditawarkan dalam album In Utero. Aku mengerti kenapa aku menyukainya. Ada kemiripan, ada perasaan yang sama dengan yang aku alami dalam hidup.

Seperti Cobain yang banyak bicara tentang kesedihan. Seperti power-chord gitar sederhananya. Seperti vokalnya yang rapuh. Aku terbenam dalam kemuraman yang diciptakan band tersebut.

“Bang, ajarin gua matematika dong. PR nya susah banget, nih.” Danu mengusik ibadahku pada Nirvana.

Aku mendecak. “Gua nggak bisa.”

“Lihat dulu Bang, ini kan pelajaran anak SMP.”

Aku mematikan kaset yang berputar. Di tengah buku-buku LKS dan PR-nya di ruang tengah, Danu memaksaku ikut duduk dan membaca soal-soal yang tidak dia mengerti.

Hmmm… tentang himpunan. Aku membaca sekilas. Oh, Danu, kamu mesti tahu kalau abangmu ini memang sama sekali nggak berbakat dalam matematika. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetap saja aku tak paham maksud soalnya.

“Mana lagi PR matematikanya?” tanyaku basa-basi.

“Bisa, Bang?” sambut Danu antusias, mungkin dia pikir aku sudah berhasil memecahkan soal-soal tersebut.

“Nggak. Gua bawa ke rumah Chandra aja ya. Nanti dia yang bantuin ngerjain. Lengkap sama penjelasannya.”

Danu menggaruk kepalanya. Solusi ini selalu aku tawarkan setiap kali Danu kesulitan dengan PR matematikanya: menemui seorang ahli yang berotak encer dalam hal rumus dan hitungan. Chandra lah orangnya.

Danu mengemas beberapa bukunya dan memberikan semuanya kepadaku.

“Kapan mesti dikumpulin?”

“Rabu, Bang.”

“Ya udah, gua bawa dulu ke rumah Chandra.” Aku langsung menenteng buku-buku tersebut dan pergi menemui sahabatku di rumahnya.


* * *


Rumah Chandra adalah sebuah bangunan kokoh berlapis tembok yang terlihat menjulang dua lantai. Rumah-rumah di sekitarnya tenggelam di balik bangunan tersebut. Semua penghuninya adalah keturunan Tionghoa.

Cerita dari warga di sini mengatakan, buyut keluarga Chandra telah larut dalam peradaban pribumi selama puluhan tahun lamanya. Melebur dengan suku Betawi lebih tepatnya. Meski hal itu tak selalu berarti mereka menghilangkan budaya lama dan mengganti dengan yang baru. Keluarga Chandra membakar dupa di beberapa waktu. Berbagi uang kecil dalam amplop merah sekali dalam setahun, tapi juga ikut muncul di depan rumah ketika hari lebaran tiba untuk sekadar mengikuti ritual saling memaafkan.

Chandra tinggal bersama kedua orang tuanya, kakaknya yang sangat pendiam, dan seorang bibi dari Ibunya yang dipanggil Ai[2] yang sering kutemui bekerja di toko melayani pelanggan dengan ramah dan antusias.

Rumah Chandra terlihat ramai hanya di waktu tertentu, yaitu waktu makan malam dan pagi hari, saat semua anggota keluarga akan memulai aktivitas. Di luar waktu tersebut, ruang tempat menonton TV selalu kosong. Tak ada suara di dapur atau meja makan, tak ada orang yang melintas di ruang-ruang lain di rumah itu. Bima sering menyebutnya sebagai stasiun. Tempat orang singgah dan lewat hanya pada waktu tertentu.

Rumah Chandra juga agak menjorok ke pinggir kampung. Letaknya dekat perbatasan dengan Kampung Awi. Untuk pergi ke rumah Chandra, biasanya aku mencari teman ngobrol di jalan. Bima tak bisa diandalkan di jam-jam selepas maghrib begini. Dia sedang sibuk dengan sosialisasinya di tempat-tempat preman kampung biasanya nongkrong. Aku dan Chandra selalu berpikir kalau Bima memang sudah jadi bagian dari mereka, tapi Bima menolak disebut preman. Dia tak punya tato, katanya begitu. Meski aku yakin, besok atau lusa anak itu akan meminta gambar naga diukir di lengannya.

“Matematika?” Chandra langsung menebak saat melihat aku menenteng buku dan berdiri di luar pagar rumahnya. Aku cuma nyengir, dan Chandra langsung tahu kalau tebakannya itu benar.

Lihat selengkapnya