“Dinamonya, coba tuker dari mobil yang lain.”
Aku mengangsurkan dua mobil Tamiya milik Danu yang lain.
“Ini bisa, Bang. Kemarin gua pake ini menang di track.”
“Lu coba aja yang ini dulu. Kalo body-nya berat, elu mesti pake dinamo yang tarikannya kuat. Kalo nggak, kalah cepet nanti mobil lu.”
Danu menurut juga akhirnya. Ia membongkar salah satu Tamiya-nya, dan mencongkel bagian dinamo agar bisa disilang pasangkan.
“Danu, sudah belajar?” suara berat Ayah bertanya dari ruang depan. “Minggu depan kan ada EHB[1],” tambahnya.
“Iya, Yah. Sebentar lagi,” jawab Danu dari dalam. Aku dan Danu kembali sibuk dengan mainan tersebut.
Kami tidak mengoleksi Tamiya, hanya punya beberapa. Aku suka Tamiya karena pernah jadi penonton setia film kartun Jepang Dash Yonkuro. Menjadi Yonkuro yang berkompetisi dalam balapan Tamiya 4WD terlihat keren dan menantang. Mungkin itu jadi salah satu penyebab Tamiya kembali menjadi tren di Jakarta. Selain aku yang jadi penonton setia, Danu pun ternyata juga menggemari Tamiya. Ia mulai suka Tamiya ketika aku mengajaknya melihat balapan di toko dekat rumah. Kebetulan toko tersebut menyediakan track untuk anak-anak kampung sini bermain. Kadang mereka memasang taruhan untuk balapan tersebut. Sekali-dua kali, Danu juga ikut terlibat.
“Coba, dites pake baterai. Kenceng, nggak?” Aku mengangsurkan baterai berkaleng hitam dengan logo kucing di atasnya. Danu memasang dan mencobanya. Suara desing putaran dinamo yang terkait dengan ban karet langsung terdengar. Rotasinya sangat cepat. Chandra pasti tahu, dengan kecepatan sekian dan jarak tempuh track, berapa waktu yang diperlukan Danu untuk memenangkan taruhan.
“Danu. Kapan kamu mau belajar?” suara Ayah terdengar sekali lagi.
Danu langsung menoleh ke arahku. Aku balik menatapnya, mengerti rasa takut dan patuhnya pada Ayah.
“Belajar dulu sana, biar gua yang beresin Tamiya-nya.”
Danu langsung bangkit dari duduknya. Pergi ke kamar, mengambil tas dan buku pelajaran. Lalu, duduk di ruang depan bersama Ayah.
Kami tidak punya ruang khusus untuk belajar. Kamar pun tidak dibuat untuk dijadikan tempat belajar. Ayah menyiapkan meja dengan lampu duduk di ruang depan. Kalau aku atau Danu mau belajar, kami bisa menggunakannya. Mungkin ide ini juga ia gunakan untuk mempermudah mengawasi kami berdua.
Setelah semua peralatan montir Tamiya dibereskan, aku memasukkannya ke dalam kotak dan disimpan di bawah ranjang.
Pintu rumah diketuk dari depan beberapa kali. Aku melongok dari kamar, siapa yang datang malam-malam begini. Ayah membukakan pintu, dan tampang Chandra yang dibuat-buat dengan gaya alim dan polos itu muncul.
“Assalamualaikum, Pak. Mau, ketemu, Amri,” ucap Chandra, sedikit terpotong-potong. Aku tahu, aura Ayah langsung membuat nyalinya ciut. Dan bisa dipastikan, Chandra datang bukan untuk tujuan penting.
“Ada apa?”
“Mau… ngerjain tugas.…” Chandra cengar-cengir.
Aku langsung menarik tubuh ke dalam. Pura-pura belum mengetahui kedatangan Chandra.
“Di rumah saya,” lanjut Chandra lagi. Dia menunjukkan Buku Matematika dan lembar kerja tipis di tangannya.
“Amri...,” suara Ayah memanggil.
“Iya?” Aku muncul. Tanpa menjelaskan, hanya dengan ujung dagu dan cara menatap seperti biasanya, Ayah memberi tahu tamu yang mencariku.
“Oh, elu,” sambutku, menyukseskan akting Chandra. “Di dalam aja yuk,” ajakku.
“Um.... Am, Bima nunggu di rumah gua. Kita mau belajar di sana.”
“Oooohhh… ya udah, tunggu sebentar. Gua ambil tas dulu.”
Aku kembali ke kamar. Mengambil tas yang cuma diisi satu buah buku untuk formalitas, lalu pamit pada Ayah. Chandra dengan sopan santun yang terlihat dibuat-buat itu ikut meminta ijin pada Ayah.
Begitulah drama tersebut berhasil dilalui Chandra dengan baik.
* * *
“Gua udah nggak percaya kalo Bima nunggu di rumah lu.”
Nyatanya, Bima memang berdiri di samping rumahku. Bersandar di tembok sambil mengisap rokok. Dia langsung menjulurkan kotak merah-hitam favoritnya. Aku dan Chandra masing-masing mengambil satu batang dan segera memantikkan api.
“Mau ke mana kita?” tanyaku.
“Ikut aja,” jawab Chandra.
* * *
Kami pergi menyusuri gang-gang kecil di kampung ini. Suasana malam selalu punya kesan tersendiri. Bohlam kuning yang berpendar sepi. Para bapak dan pemuda duduk santai di depan rumah atau di titik-titik tertentu bersama-sama. Beberapa membawa radio baterai ukuran besar dan memutar siaran sandiwara radio. Dari rumah yang lain terdengar lagu dangdut, Rhoma Irama yang bernyanyi. Ada juga suara penyanyi melankolis macam Iis Dahlia yang melantun dengan nada yang meliuk-liuk.