Kami hampir kehabisan napas. Mata sipit Chandra mengerjap beberapa kali. Keringat bercucuran. Kaus kami basah karena dibanjiri peluh setelah perjuangan mati-matian meloloskan diri dari kejaran orang-orang Kampung Awi.
“Kampret! Maling teriak maling!” Bima menyumpah serapah.
Napasku masih terengah-engah. Sambil membungkuk kelelahan aku menyeka keringat di dahi dengan lengan kaus. “Bisa dibakar idup-idup kita kalo tadi ketangkep,” sambungku.
“Orang-orang situ kenal gua… Kenal bokap gua juga… Bisa aja sih… gua belain elu berdua…,” Chandra tak ubahnya ikan yang terdampar di daratan, dengan napas yang tersengal-sengal ia mencoba menyelesaikan kalimatnya.
“Mereka ngejar maling, Man. Bukan ngejar anak yang punya toko. Masalahnya mereka nggak tahu malingnya yang mana.” Bima menjawab kesal, dia meludah, membuang pekat di lidahnya.
Chandra duduk berselonjor di atas lantai semen lapangan badminton tempat kami biasa nongkrong. Bima langsung mengambil sebatang rokok lagi dan menyulutnya. Cara satu-satunya untuk menenangkan diri. Dia melempar bungkus rokok itu kepadaku. Aku mengambil sebatang dan menyelipkannya di celah bibir. Aku menawari Chandra, tapi dia menolak dengan isyarat tangan. Napasnya masih kepayahan. Bahkan tangannya masih terlihat gemetar.
“Udah. Santai. Kita aman sekarang,” Bima mencoba menenangkan.
“Mereka ngelihat muka kita nggak tadi?” tanyaku. Pengejaran ini bisa saja berbuntut menjadi hal yang buruk.
“Kalo pun ngelihat, paling nggak barang bukti udah di tangan kita.” Bima mengulurkan tangannya pada Chandra, membantu anak lelaki itu bangkit dari duduknya.
“Ya, itu berita baiknya, tapi kalo karyawan bokap malah ngamuk gara-gara kita selidiki?” sahut Chandra sambil menepuk-nepuk celananya yang berdebu setelah berselonjor di lantai semen.
“Masalah karyawan bokap lu mau ngamuk setelah ketahuan, itu urusan belakangan.”
Kami berdiam beberapa lama di sini setelahnya. Mendinginkan tubuh sebelum kembali ke rumah masing-masing.
* * *
Pintu rumah tertutup rapat. Lampu di dalam juga sudah dimatikan. Aku mengetuk pintu beberapa kali. Namun, belum ada satu pun penghuni rumah yang membukakan. Aku mengetuk sekali lagi.
Mungkin Ayah dan Danu sudah tidur. Aku menempelkan kepala ke jendela, celah gorden yang tak tertutup rapat membuat pandanganku bisa melihat ke dalam. Tak ada aktivitas yang menunjukkan kalau mereka masih terjaga.