PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #11

FRAGMEN 1 - AMRI. Chapter 10

Adalah kebanggaan tersendiri bagi kami karena telah membantu memecahkan kasus kriminal kemarin. Chandra sendiri yang selama ini terkesan dipecundangi, langsung dipuji kedua orang tuanya atas keberaniannya.

Bima berdecak atas prestasinya. Saran penyelidikan ini memang datang darinya. Dan Bima sama sekali tak pernah ragu atas apa yang dikerjakannya. Dia menepuk-nepuk dadanya seperti yang sering dilakukannya untuk menunjukkan kepada kami siapa dirinya.

Aku sendiri, meski dilibatkan paling terakhir, masih tidak menyangka kalau kasus ditutup dengan kemenangan di pihak kami. Terlebih Bima mempercayakan sebagian dari investigasi ini kepadaku. Selama ini tak ada hal yang bisa membanggakanku. Kosakata yang aku dengar hanyalah sekumpulan kata sifat negatif. Bohong, payah, sumber masalah, suka memberontak, dan sebagainya.

Bima pernah bilang kalau diri kita adalah hasil dari apa yang kita lihat, dengar, dan ucapkan. Kata-kata yang masuk ke telinga tak pernah sepenuhnya sekadar lewat, apalagi hilang begitu saja. Otak kita merekam apa yang ada di sekitar. Dan kita sering kali tidak sadar, hal-hal itulah yang membentuk diri kita dari waktu ke waktu.

Entah dari mana Bima mendapatkan asumsi itu. Mungkin koran, artikel, atau sumber bacaannya yang lain. Tapi sepertinya, aku mulai setuju. Sudah lama aku dinilai seperti sampah. Ayah tak pernah meletakkan pujian padaku. Di sekolah, aku bermasalah. Lingkungan rumah pun tak pernah memandang aku seperti anak-anak lainnya. Secara tidak langsung, aku menjadi seperti apa yang mereka bicarakan.

Kabar gembira lainnya adalah Nuri tahu cerita ini dan memberikan pujian bangga untukku. Pulang sekolah tadi, aku mengantarnya pulang. Di sepanjang jalan, aku menceritakan ulang kronologi penyelidikan. Nuri terkesan dengan apa yang aku dan teman-teman lakukan.

Rasanya… semakin melayang.

* * *

Aku pulang ke rumah dengan dada membusung. Belum pernah aku melangkah dengan sepercaya diri ini. Saat sampai di rumah, Danu sedang membaca sambil menyeringai, atau bahkan tertawa sesekali.

“Baca apa lu?”

“Nih. Lucu, Bang.”

Komedi serial Lupus ternyata. Lagi-lagi penyuplainya adalah Chandra. Aku barter dengan pengembalian komik Tinju Bintang Utara. Katanya, kakak perempuannya mau baca karena sudah kehabisan komik serial cantik sebagai bacaan.

Aku menyerobot buku Lupus yang sedang dibaca Danu.

“Ah, gua belum selesai, Bang.”

“Cuma lihat doang sebentar.”

Judulnya Cowok Matre. Yang ini buku lama sih, keluaran Juni ‘96. Tapi, mau keluaran tahun berapa pun, dan buku seri keberapa pun, serial Lupus tetap aja menarik untuk dibaca.

Aku mengembalikannya pada Danu kemudian. “Gua abis membongkar kasus pencurian,” ucapku padanya, bangga.

Danu awalnya cuek saja, tapi dia mengangkat wajahnya kemudian.“Pencurian, Bang?”

Aku menangguk. “Di toko bokapnya Chandra.”

Danu langsung meletakkan buku yang dia baca. “Gimana ceritanya?”

“Jadi waktu itu, malem-malem, Chandra sama Bima ngajak gua ke toko bokapnya Chandra….”

Aku pun menceritakan ulang cerita tersebut secara lengkap. Danu mendengarkan dengan saksama. Mulai dari pengintaian kami di dalam toko, rencana Bima dengan barang bukti yang kami punya, sampai sidang kemarin siang.

“Keren, Bang. Gua mau ikutan lagi kalo kapan-kapan elu mau nangkep maling,” ucap Danu bersemangat.

“Tenang, nanti kalo ada kasus, gua ajak.” Aku menjanjikan.

“Terus, sekarang karyawannya dibawa ke polisi?” Danu bertanya lagi, ingin cerita selengkapnya.

“Nggak, nyokapnya Chandra milih menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan. Karyawannya dipecat dan nggak dapet gaji sama pesangon.”

“Pesangon itu apa, Bang?”

Aku tersenyum, sadar kalau ada beberapa kosakata yang tak akrab di telinga Danu.

“Pesangon itu upah kalo elu berhenti kerja.”

Lihat selengkapnya