Muka Bima muncul dari balik pintu. “Masuk,” ajaknya, seolah sudah tahu tujuanku.
Setelah melepas sandal jepit di teras rumahnya, aku melangkah ke dalam. Bima langsung duduk berselonjor, mengambil remote TV dan memencet sekali, mencari siaran Buletin Malam yang tayang menjelang dini hari.
Aku duduk di sebelahnya, dengan lutut tertekuk rapat. Kedua lenganku bertopang di sana. Aku menyandarkan kepala di dinding yang warna catnya telah pudar.
“Dari dulu kan udah gua suruh kabur. Ngapain masih di rumah aja?” ucap Bima.
Bima tahu segalanya. Dia tahu masalahku. Masalah pelik yang sudah bertahun-tahun tak terselesaikan. Dia tahu tentang Ayah. Tentang perlakuan, tuntutan, serta amarahnya.
Bima tahu. Dan dia pernah menyarankanku pergi dari rumah jika tidak mau terus-menerus berkubang dalam masalah ini.
“Elu bisa tinggal di sini. Urusan sekolah bisa kita atur. Duit buat bayaran bisa kita cari, kalo ada rapat orang tua, kita suruh orang datang ngaku jadi paman lu. Elu lulus sekolah. Kerja. Beres.”
Itu adalah rencana besar Bima. Sejak tekanan dan sikap keras Ayah mulai menyesakkan dadaku. Menurutnya, aku perlu kebebasan. Perlu menemukan diriku jadi lebih baik. Bukan menelan omongan-omongan beracun setiap kali beradu mulut dengan Ayah.
“Udah. Jangan cengeng. Cemen lu.” Bima mematikan televisi, melempar sebuah bantal ke arahku. Dia sendiri pergi ke kasur dan segera terlelap.
Hari berangsur semakin malam. Hampir pukul dua belas malam. Mungkin aku akan sulit tidur hingga pagi.
* * *