Aku sedang rindu. Rasa kangen pada Ibu memang muncul sesekali. Tapi kali ini, lebih besar dari biasanya. Aku pikir, tak pernah ada lamunan yang merebut perhatianku sebesar kemarin malam.
Ini hari ketiga aku tidak berada di rumah. Aku berdiam di tempat Bima lebih lama pagi ini. Aku tidak berangkat ke sekolah, karena sekolah tidak bisa mengalihkan perhatianku sejenak. Paling tidak, sekolah tidak bisa menjadi tempat yang nyaman untuk lari dari masalah.
Aku pergi, tak tahu akan ke mana kali ini.
* * *
Ada sebuah tempat di daerah Jalan Kawi-kawi Bawah. Sudah lama aku tidak ke sana. Tempat tersebut adalah sebuah kompleks yang sepi. Hanya diisi pohon-pohon rimbun, jalanan beraspal kasar, rumput, dan nisan.
Makam Ibu ada di salah satu blok. Di tengah-tengah makam berlapis nisan batu dan gundukan tanah dengan kayu yang sudah lapuk. Rumput meninggi di beberapa sisi makam. Aku menyusuri satu tapak kecil, tanah merah membekas di sandal yang aku kenakan. Dari tempatku melangkah, nisan kayu tanpa pelitur menorehkan huruf bercat hitam yang mulai membaur dengan warna kayu yang membusuk diterpa pergantian musim.
Laksmi
26 April 1957
7 Juli 1992
Sudah lima tahun Ibu pergi....
Aku mengusap nisan Ibu. Terasa dingin, seperti rumah yang sudah lama tak disinggahi. Tak ada percakapan yang terjadi antara aku dan pusara Ibu. Bukan seperti wujud dua manusia yang bisa bertukar pikiran atau berbagi keluh kesah. Tapi paling tidak, rindu bisa terobati sejenak.
Aku rindu Ibu saat ini.
Suara burung kecil bercicit di antara pohon-pohon, beberapa turun ke aspal, mengambil remah makanan yang terjatuh atau terbawa angin. Burung-burung itu, mungkin beranak pinak.