PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #14

FRAGMEN 1 - AMRI. Chapter 13

“Stres?”

Hanya suara Bima yang terdengar. Ruangan ini gelap, siluet tubuh Bima tersamar dari dalam kamar tengah rumah kontrakannya. Pukul sebelas lewat. Hampir tengah malam. Bima keluar dari ruang tengah dengan kaus surfing ala Chandra―tepatnya, kaus pinjaman yang belum dikembalikan.

Dia mengambil jaket yang tersangkut di paku, lalu mengenakannya. Kotak rokok diselipkan di kantong jaket sebelah kanan. Bima mencari kunci rumah di atas meja. Setelah menemukannya, dia pergi ke arah pintu.

“Ayo ikut gua,” ajaknya.

“Ke mana?”

“Ikut aja.”

Aku menurut, mengekori Bima. Dia mengaitkan gembok di gerendel, menekannya hingga berbunyi ‘klik’. Lalu menjejakkan kaki, meninggalkan rumah. Aku hanya mengikutinya.

* * *

Gang-gang di kampung ini telah begitu akrab denganku. Belasan tahun sudah aku tinggal di sini. Sejak aku dilahirkan, aku sudah menghirup udara dari kampung ini, minum dari kampung ini. Tanah, makanan, rumah-rumah yang berhimpit rapat, tiang listrik, selokan air, dan kerumunan orang adalah pemandangan pertama yang ditangkap mataku.

Aku mengenal setiap sudutnya. Setiap perubahan yang terjadi dari hari ke hari, tahun ke tahun. Bima bersiul santai sambil menyimpan tangannya di saku jaket. Udara malam terasa dingin, tapi Bima tampak tak terusik. Aku bungkam. Tak bertanya ke mana tujuan Bima dan mesti ke mana aku mengikutinya.

Masih ada suara radio berbunyi di sebuah rumah yang kami lewati. Musik yang diputar adalah lagu barat lawas. Era 80-an. Diana Ross dan Elton John masih muda saat itu. Cobain belum muncul, mungkin dia sedang memupuk emosi gelapnya untuk dipopulerkan kelak. Dan tak ada dangdut juga saat malam begini.

Perjalananku dan Bima kian jauh meninggalkan rumah kontrakannya. Gang kecil ini sepertinya mengarah ke jalanan beraspal. Ada beberapa mobil melintas, terlihat sebagai kilat bayangan berwarna gelap yang memantulkan cahaya dari lampu jalan.

Bima melongok ke sebuah warung kopi, sepertinya mencari tahu pukul berapa sekarang ini. Beberapa pemuda duduk-duduk di mulut gang sambil bermain gitar dan tertawa-tawa. Lagu yang dinyanyikan bernada sumbang, tapi bukan kemerduan yang jadi tujuan, melainkan sekadar pelepas kejenuhan saja.

Ada warung yang masih buka di sebelah warung kopi. Isinya beberapa orang lelaki usia dua hingga tiga puluh tahunan. Mereka duduk di bangku kayu panjang, menghadap meja yang dilapisi karpet plastik. Botol-botol anggur murah tergeletak di atas meja. Rokok dan kulit-kulit kacang memenuhi asbak. Bima masuk ke sana. Aku menunggunya di luar.

Satu orang di luar warung melirik ke arah Bima ketika dia melangkah masuk. Lelaki itu mengangguk saat Bima menyapa lewat ujung dagu. Mungkin mereka saling kenal. Lalu, Bima mengeluarkan uang dari dompet, membeli satu botol anggur. Kantong plastik hitam dijinjingnya keluar warung. Kami melanjutkan perjalanan lagi.

* * *

Cukup jauh kaki kami melangkah. Trotoar dilintasi anak-anak jalanan yang berkeliaran bebas. Ada yang menengadahkan tangan, meminta uang receh pada kami. Bima mencari uang receh, memberikan satu koin logam seratus rupiah.

Jalanan cukup lengang. Kedua arah yang berseberangan hanya dilintasi kendaraan sesekali saja. Belum jelas ke mana tujuan Bima. Ketika kami menemukan jembatan penyeberangan yang melintang di tengah Jalan Cempaka Putih, Bima naik ke sana. Angin malam semakin terasa saat kami sampai di atasnya. Lalu, Bima duduk bersandar pada pagar besi jembatan ini. Desah suara napasnya terbuang. Bima menurunkan kantong plastik hitam dan mengeluarkan anggur yang tadi dibeli. Aku ikut duduk di sebelahnya.

“Kita santai dulu di sini.” Bima menenggak anggur dalam botol, lalu menyerahkannya kepadaku. Aku menenggaknya sekali.

“Kalo malem, kota kelihatan bagus, Man.” Bima mengarahkan pandangannya pada cahaya gedung-gedung Ibukota.

“Elu sering ke sini?” tanyaku.

“Cuma sesekali kalo lagi suntuk aja. Di rumah, kan, nggak ada temen. Nongkrong terus sama anak-anak juga bosen.”

Bima duduk berselonjor. “Udah ada rencana kapan mau balik ke rumah?”

Lihat selengkapnya