PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #15

FRAGMEN 1 - AMRI. Chapter 14

Aku terjaga.

Gorden di kamar depan tak lagi mampu menyembunyikan cahaya matahari yang hampir mencapai puncak kepala. Aku cuma mereka-reka kalau sekarang sudah menjelang tengah hari. Setelah duduk sekian menit lamanya, aku bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Kami pulang hampir pagi. Ide Bima untuk pergi ke Monas sama sekali bukan ide yang buruk. Bima meminjam sepeda motor butut milik temannya yang berknalpot berisik dan mengeluarkan asap seperti cerobong pabrik.

Sepeda motor yang suara mesinnya mirip alat pemarut kelapa itu ditarik dengan kecepatan tinggi. Rasanya luar biasa. Memacu adrenalin. Dan anehnya semakin kencang laju sepeda motor tersebut, sensasi yang dirasakan semakin menyenangkan.

Aksi kebut-kebutan Bima tak cukup sampai di Monas saja. Kami berputar di area sekitar Jakarta Utara: Cempaka Putih, Tanah Tinggi, Kramat, Kwitang. Ada satu jalan di mana pos polisi bertengger di tepinya. Petugas berseragam cokelat melihat aksi kami. Dia berteriak keras, menghardik, tapi tak mampu menandai kami, apalagi mengejar dengan sepeda motor bebeknya itu.

Ini cara aneh yang disebut Bima sebagai cara efektif mengusir masalah dalam kepala. Katanya, kita hanya perlu melakukan sesuatu yang sedikit gila. Biarkan diri kita menikmatinya, dan kemudian kesenangan itu akan menyingkirkan masalah yang ada.

Aku tak mau menyebut cara tersebut sebagai cara yang efektif. Tapi hasilnya, aku lupa kalau sudah lebih dari dua puluh empat jam terakhir aku berkutat dengan kemuraman dan rasa marah.

* * *

Suara adzan zuhur terdengar dari corong pengeras suara masjid.

Bima baru saja bangun. Dia berjalan terhuyung menuju kamar depan. “Gua kira udah kabur lu,” komentarnya, saat menemukan aku duduk sambil membaca salah satu buku Bima yang aku ambil tadi. Judulnya Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, dan ini adalah buku yang paling sering Bima baca.

Bima melongok ke teras, memastikan sepeda motor temannya masih aman di sana.

“Mau ngebut lagi?” tanyaku.

“Siap?”

Tak menunggu jawaban dariku, Bima pergi ke dalam kemudian. Mungkin dia hendak mandi. Lebih dari lima belas menit setelah itu Bima muncul sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk.

“Gua mau pulang ke rumah,” kataku langsung. Bima berhenti dengan aktivitasnya. Kedua alisnya terangkat.

“Mau damai?”

“Cuma mau nengok Danu,” jawabku. Entah kenapa, sejak bangun tidur tadi tiba-tiba aku kepikiran Danu. Aku rasa, jam segini adalah waktu yang tepat untuk pulang. Ayah sedang bekerja, dan hanya Danu yang berada di rumah.

Bima manggut-manggut mendengar jawabanku. Entah meledek, atau mengerti alasanku.

“Gua pinjem buku ini juga,” tambahku, menunjukkan buku bersampul hitam dengan gambar kepala macan yang dibuat dalam siluet oranye.

Lihat selengkapnya