PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #16

FRAGMEN 1 - AMRI. Chapter 15

Jakarta, 2013. Jalan Pangeran Jayakarta menuju Mangga Dua

Masih hujan.

Cuaca adalah ujian untuk Jakarta awal tahun ini. Ibarat tes kenaikan kelas, tidak bisa dipastikan apakah Jakarta akan lulus atau malah tinggal kelas. Banyak orang memandang pesimis di luar sana. Sikap mereka beralasan. Banjir telah menjadi masalah klasik yang terjadi bertahun-tahun lamanya. Beragam solusi yang cuma jadi pepesan kosong, penanganan pemerintah yang tidak serius, kesadaran masyarakat yang kurang, dan… kita mengatasnamakan ‘ucapan syukur’ untuk mengamini peristiwa tahunan tersebut. Kondisi yang mengenaskan, mengingat satu berita yang menayangkan seorang warga Ibukota mengatakan, ‘nggak apa-apa lah, setahun sekali ini’, ketika diwawancarai soal banjir. Mungkin dia pikir, banjir tak lebih dari perayaan tahun baru, natal, lebaran, Imlek, atau apa pun itu yang datang seperti rejeki sekali dalam setahun. Kalau begitu, mungkin pemerintah mesti merevisi kalender dan menetapkan hari libur nasional atau cuti bersama di musim banjir.

Genangan air merapat di bibir jalan. Selokan mulai kewalahan menampung air. Dari balik kaca mobil aku dan Chandra mengamati orang-orang yang berdiri berhimpitan di setiap tempat yang bisa mereka gunakan untuk berteduh. Sesuai saran Chandra, aku membelokkan mobil ke kiri menyusuri Jalan Pangeran Jayakarta. Chandra bilang, lebih hemat waktu daripada berputar melintasi Gunung Sahari. Di jalan ini, sebuah bangunan besar terpampang di antara langit yang mendung. Gedung Rumah Sakit Utama Baktim.

Tiba-tiba aku ingat Danu.

Kejadian belasan tahun lalu.

Siang itu, diantar suami Teh Ira, aku sampai di rumah sakit di daerah Kramat. Setengah berlari, aku mencari kamar tempat Danu dirawat. Aku ingin tahu kabar adikku segera.

Ruang sempit berisi empat pasien. Di sana Danu rebah, selimut putih menyelubungi tubuhnya hingga pinggang. Ada selang bening dari botol yang menggantung di tiang besi, sumbat plastik dan jarum menghubungkan selang dan saluran nadi Danu. Dia diinfus. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemas. Rambutnya kering, tapi terlihat lengket. Pasti dia tidak mandi sejak dirawat di sini. Danu menengadah, menatap langit-langit.

Aku memanggil namanya. Dua orang lainnya di ruang tersebut ikut menoleh. Entah bernama sama, atau panggilan spontanku yang kelewat keras.

Aku berlari, mendekap Danu. Mungkin mereka heran saat melihatku melakukan hal berlebihan itu. Mereka pikir, adikku hanya lemah dan sedang diinfus. Tak sampai dililit perban berlapis-lapis, tak ada selang oksigen tertancap di batang tenggorokannya, tak ada aliran darah yang mesti dimasukkan ke dalam tubuh, alat pacu jantung atau apapun itu yang mengindikasikan kondisi kritis seorang pasien. Namun, satu hal yang mereka tidak tahu. Boleh jadi, aku adalah orang pertama yang akan menyesal seumur hidup jika Danu pergi. Aku dan segala kebodohanku.

Danu gembira melihat kedatanganku. Isi kepalaku masih dipenuhi kata ‘seandainya’. Seandainya aku tidak pergi dari rumah. Seandainya aku tidak lupa mengingatkannya untuk minum obat. Sementara hatiku diisi rasa bersalah dan penyesalan. Begitulah keadaan manusia setelah diberi cobaan.

Siang hingga sore aku menunggui Danu di rumah sakit. Ayah datang malam harinya, dengan seragam lengkap karena baru pulang bekerja. Dia terlihat sedikit terkejut dengan keberadaanku di kamar rawat. Tapi, kami saling bungkam. Seperti dua orang musuh bebuyutan. Tak ada transaksi kata-kata. Kami tak mau saling menyentuh ego masing-masing dalam keadaan seperti ini.

Lihat selengkapnya