Jakarta, 2013. Mangga Dua
Mobil Amri baru saja pergi.
Perjalanan yang cukup panjang untuk menembus kemacetan dan banjir di tengah musim hujan begini. Keputusan bagus menggunakan jalur Pangeran Jayakarta karena Gunung Sahari pasti betul-betul bikin stress sekarang.
Masih gerimis. Saya mendongakkan kepala ke atas, mengecek apakah langit masih mendung. Kayaknya malam ini hujan bakal awet. Saya menyeringai pada diri sendiri. Tanpa perlu mengintip ke atas sana pun, saya udah tahu kalo hujan masih akan turun padahal.
Sambil melintasi teras-teras ruko, saya masuk lebih dalam ke salah satu jalan di kompleks pertokoan Mangga Dua. Gedung-gedung semakin rapat. Bangunan lama seperti tumpang-tindih dengan bangunan baru. Beberapa direnovasi jadi lebih lebar atau lebih tinggi. Hotel Ibis masih jadi salah satu yang paling angkuh menyoal ketinggian, sedangkan Wisma Eka Jiwa dari tahun ke tahun polesannya makin baik. Pasti bagian pemasarannya berhasil menjual premi asuransi dalam jumlah banyak.
Sejak berdiri, ITC nggak lebih dari tempat engkoh-engkoh dan ncik-ncik berdagang baju dan aksesori. Beberapa toko udah mewariskan kepengurusannya kepada anggota keluarga pemiliknya yang lebih muda. Generasi sekarang tentu berbeda jauh dari pendahulunya. Mereka hidup dalam teknologi dan kecepatan komunikasi. Strategi dagang mereka pun merambah blog, Facebook, BlackberryMessenger, dan segala fasilitas jejaring sosial lainnya.
Belakangan, pasar sandang dikuasai tren fesyen gaya Korea. Dan, hell yeah… saya salah satu penjual yang bermain juga di wilayah itu. Pedagang mi tek-tek membetulkan terpal yang menutupi gerobaknya. Air hujan yang tertampung di atasnya langsung mengalir turun. Sepasang remaja lelaki dan perempuan berlari ke dalam terpal, memesan mi. Seragam sekolah masih melekat pada tubuh mereka. Sementara pedagang asongan lainnya bercengkrama di tengah udara Jakarta yang kian dingin sore ini.
Saya membuka grendel yang mengait di pagar rumah. Sepatu yang basah karena cipratan air, saya tinggal begitu saja di teras. Lampu-lampu di rumah udah dinyalakan. Dewi―istri saya, pasti udah pulang dari tadi.