PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #18

FRAGMEN 2 - CHANDRA. Chapter 2

Kampung Anyar, akhir tahun 1997

 

Menjadi dewasa mengajarkan saya bahwa hidup nggak pernah jadi lebih mudah. Kita harus siap menghadapi segala hal yang nggak menyenangkan sama sekali. Dan itu bisa terjadi kapan aja, entah kita siap ataupun nggak sama sekali.

Dari apa yang saya alami sejak kecil, nggak bisa bilang juga kalau kehidupan selalu terlihat senang dan bahagia, terutama di luar rumah. Kehidupan anak kecil yang bahagia bagi saya adalah pengecualian.

Saya tumbuh dengan ejekan dan celaan. Pernah pada satu titik, saya sangat membenci penampilan fisik sendiri. Benci dengan kulit putih dan mata sipit yang saya punya. Karena dua hal itu seringkali dijadikan bahan ejekan dan hinaan teman-teman.

Saya nggak pernah ngerti dengan situasi ini. Kedua orang tua saya nggak pernah ngasih pengertian yang jelas. Semua pertanyaan tentang perlakuan dan ejekan tersebut dipaksa untuk dikubur ke alam bawah sadar. Seolah, menjadi bahan celaan sebagai seorang keturunan etnis Tionghoa di negeri ini adalah takdir yang nggak bisa dihindari. Kalimat ‘udah sabar aja’, atau ‘nggak usah didengerin, sama sekali bukan solusi buat segala kemarahan dan tanda tanya di dalam diri saya. Sampai hari ini, pertanyaan itu terus bergaung dalam pikiran, dan tetap aja nggak ada jawaban untuk itu. Pada akhirnya, saya benci pada apa yang saya punya.

Saya dan Bima baru pulang dari rumah Amri. Kita abis nengokin Danu, adik Amri, yang sakit. Di antara kita bertiga, rumah saya yang letaknya paling jauh, agak ke ujung kampung. Pulang ke rumah berarti harus ngelewatin persimpangan dekat Puskesmas yang biasanya dijadiin tempat nongkrong preman kampung sini.

Ketemu mereka di jalan udah biasa sebenernya. Karena dari dulu saya juga sering lewat jalan ini. Yang nggak biasa adalah mereka itu suka malak. Saya nggak mau ambil pusing dan males berantem juga. Bukan karena kalo berantem kalah jumlah—seperti yang Amri bilang, atau karena saya nggak bisa berantem—seperti kata Bima. Cuma, satu hal yang kadang bikin saya sangat terganggu adalah ketika mereka mengejek saya dengan sebutan ‘Cina’.

Buat sebagian orang, dilabeli suku seperti itu mungkin bukan masalah besar. Tapi buat saya sendiri, justru itu adalah masalahnya. Seandainya, status etnis itu saya kasih ke salah satu di antara preman-preman itu, apakah mereka akan melakukan hal yang sama? Apakah anak yang akan diejek berdasarkan etnis itu udah siap mentalnya? Saya nggak yakin. Sialnya, orang nggak pernah membandingkan keadaan orang lain dengan keadaan dirinya sendiri. Itu yang bikin mereka nggak pernah bisa toleran.

Saya dan Bima sampai di depan rumah tiga petak. Itu rumahnya Bima. Dia langsung ngerogoh kantong celana, nyari kunci buat buka gembok rumah.

“Gua balik, Bim,” pamit saya langsung, karena matahari juga udah makin tenggelam.

“Hati-hati lo,” sahut Bima.

“Sip.”

Saya melanjutkan perjalanan pulang. Hampir dua ratus meter, dan persimpangan yang saya maksud tadi posisinya ada di depan. Dari jauh, saya udah bisa melihat preman-preman itu. Kayaknya mesti nyiapin hati sama mental nih. Sial banget, kenapa jalan di daerah sini cuma punya gang-gang buntu aja.

“Woy sipit! Jalan-jalan mulu, lu.”

Saya nggak meladeni ‘sapaan ramah’ tersebut. Salah satu preman yang lagi duduk di bangku kayu langsung lompat dan menghadang langkah saya.

“Jangan kasar-kasar, Cok. Anak orang kaya, tuh,” kata si preman yang lagi menghadang saya.

“Oh iya, gua lupa,” sahut temannya yang tadi meneriaki saya sipit.

Saya udah siap banget ngasih duit. Jadi, saya diem aja. Lagian, saya juga nggak mau lihat muka preman-preman itu, karena kalo saya melihat ke arah mereka, pasti mereka bilang saya nyolot. Tapi salah satu yang lainnya malah mendekat dan mendorong saya sampai goyah ke kanan.

“Bokap lu punya toko, kan? Gua mau minta rokok,” ucapnya kasar.

“Nggak ada, Bang,” jawab saya. “Ini kalo mau, ambil duit gua aja.” Saya memilih jalan pintas, pengin ini cepat-cepat berakhir.

“Hari ini kita lagi nggak mau duit. Maunya rokok. Lu liat nih, udah kosong dari tadi siang. Asem mulut kita.” Preman yang mendorong saya menunjukkan bungkus rokok kosong, lalu melemparnya ke pinggir jalan. “Mana rokoknya? Cepet keluarin!”

“Nggak ada, Bang. Gua nggak bawa rokok.”

“Ah, bohong lu! Emangnya gua nggak tahu kalo lu juga ngerokok.”

“Iya, bohong pasti nih anak. Masa bokapnya punya rokok berkardus-kardus, dia kagak make.”

“Nggak, Bang. Bener nggak ada.”

“Ah, kampret luh!”

Bukkk!

Sebuah pukulan mendarat di pipi kiri. Lalu, badan saya ditarik dan dipaksa bangun. Bau alkohol tercium begitu mulut si preman ada di depan muka saya.

“Besok, kalo lewat sini lagi. Lu harus siapin rokok buat kita.”

Saya diam aja. Antara takut dan sebal sama kelakuan mereka.

“Ngerti nggak lu?”

Lihat selengkapnya