Bicara soal pengungkapan kasus pencurian di toko kedua orang tua saya.
Emang sih, masalah ini jadi sesuatu yang mengubah sikap dan perlakuan keluarga kepada saya. Meski itu pun cuma terjadi selama beberapa minggu, karena setelahnya kedua orang tua saya kembali sibuk dengan usaha mereka. Seolah-olah kasus kemarin lenyap dengan sendirinya aja. Tapi di luar itu semua, cerita-cerita yang pernah Papa sampaikan ke orang-orang yang main ke toko maupun saudara-saudara, ternyata punya imbas yang berbeda-beda. Cerita yang akhirnya nyebar ke mana-mana itu ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda pula.
Pernah suatu hari, salah satu tetangga datang ke rumah dan cerita soal duitnya yang hilang. Dia bilang duit yang katanya buat bayar uang ujian anaknya itu ditaruh di lemari, di bawah tumpukan pakaian-pakaian. Malam harinya dia dengar ada suara dengusan babi, saya nggak tahu menurut cerita dia, apa itu memang babi ngepet[1] atau bukan. Tapi pagi-paginya, waktu duit itu mau diambil, tetangga saya bilang semuanya udah raib nggak tahu ke mana.
Dia mengajukan kasus ini untuk ditangani saya dan teman-teman. Tapi pada fase ini saya berpikir, dia memercayakan masalah ini ke kita sebagai detektif atau dukun? Makhluk-makhluk dan cerita klenik kayak gitu sama sekali bukan cerita yang saya percaya.
Buntut dari kasus pencurian yang kita bongkar juga terjadi pada Amri dan Bima.
Pencurian tersebut jadi omongan banyak orang di Kampung Awi maupun Kampung Anyar. Dan akhirnya nyampe juga ke pihak kepolisian setempat. Nggak ada pelapor yang melaporkan kasus kriminal ini karena Mama juga menganggap kasus ini udah selesai. Tapi karena nggak ada laporan itulah, kemudian kasus ini jadi masalah buat Amri.
Ayahnya Amri menuduh Amri bertindak gegabah dengan tidak melaporkan kasus pencurian di toko orang tua saya ke pihak kepolisian, dan malah memilih untuk membongkar kasus ini sendiri. Mereka bertengkar kemudian.
Ayah Amri yang emang udah dasarnya keras, nggak mau Amri mengambil tindakan yang bukan sesuai jalurnya. Biar gimanapun, dia mau segala sesuatu dijalankan sesuai prosedur yang ada, termasuk prosedur hukum. Saya ngerti, emang seharusnya begitu. Nggak boleh juga main hakim sendiri, atau istilah Mama waktu maling tersebut tertangkap adalah dengan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Kekeluargaan? Bahkan saya nggak pernah menganggap karyawan pencuri itu pernah lahir dari rahim nenek moyang saya. Untuk hal yang satu ini, saya setuju banget sama ide Ayahnya Amri. Tapi yang saya nggak ngerti adalah, kenapa kemudian Amri dan Ayahnya berantem, adu mulut, sampe akhirnya Amri kabur dari rumah.
Setiap keluarga, pastinya punya aturan dan cara yang bebeda-beda. Tapi menurut pemikiran saya, anak itu cuma akan pergi dari rumah kalau dia memang udah siap untuk ngatur hidupnya sendiri atau memang udah waktunya keluar, misalnya berkeluarga gitu. Bukan karena masalah berantem.
Kalo Amri sampe kabur dari rumah. Pasti ada masalah dalam hubungan dua orang ini. Mungkin Ayahnya yang emang kelewat keras, atau Amrinya yang kepala batu? Saya nggak tahu.
Balik lagi ke kasus adiknya Amri yang akhirnya masuk rumah sakit. Setelah kabur dari rumah, Amri pun kembali demi adiknya itu. Dia pasrah dan nyerahin hidupnya untuk keluarga sekarang. Dia bertahan dengan kehidupannya, dan tetap harus menghadapi Ayahnya yang keras, sekaligus mengurus Danu.
Beda dari Amri. Bima malah nambah musuh.
Kita semua tahu, yang namanya Bima itu dari dulu udah kayak preman. Dia nggak pernah takut menghadapi siapa saja, termasuk anak-anak Kampung Awi.
Karyawan Papa yang dipecat memang warga asli Kampung Awi. Teman-temannya ya pasti warga kampung situ juga. Sering kali, dengan mengatasnamakan kesetiakawanan dan rasa solidaritas, mereka menganggap kasus pemecatan ini sebagai hukum balas dendam yang suatu hari nanti mesti ditebus. Mau tindakan si karyawan itu melanggar hukum sekali pun, tetap aja nggak ada yang namanya kata salah dalam kamus mereka. Apalagi penjahat kan selalu pintar nyari alibi. Dituduh fitnah lah, skenario dari Papa lah buat nyari-nyari alasan biar dia bisa dipecat untuk mengurangi tenaga kerja, atau malah yang paling gila: dia dikerjain sama Bima, saya dan Amri. Katanya, karena keluarga saya orang Kampung Anyar, jadi, anak-anak Kampung Anyar nggak suka kalo orang Kampung Awi kerja di toko kami. Gila! Dan karena emang Bima yang dikenal sebagai salah satu pentolan remaja Kampung Anyar. Mereka bilang, otak dari fitnah tersebut digagas oleh Bima.
Nggak sepenuhnya salah. Emang Bima yang punya rencana buat ngebongkar kasus pencurian ini. Yang salah adalah, tuduhan atas cerita palsu yang mereka bikin sendiri. Asli, ini namanya goblok. Mereka yang bikin racun, mereka juga yang minum. Bima sih menanggapi masalah ini dengan santai. Atau bisa jadi, dia memang udah siap seandainya suatu hari nanti perang bakal pecah antar kampung kita?
Iya atau nggak. Saya cuma mikir, apa yang mesti saya bawa buat berantem nanti. Soalnya selama ini saya dianggap paling bego kalo soal ‘ribut’. Apa iya, mesti nyari guru karate dulu buat persiapan? Ah, itu sih bego banget namanya. Perang kan butuh semangat, bukan jurus. Saya pernah lihat anak-anak eskul karate di sekolah. Tiap kali mereka mau sparing, ngambil awalan aja udah lama banget. Belum kalo ngambil napas buat ngumpulin tenaga dalam. Ngabisin waktu berapa lama?