PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #27

FRAGMEN 2 - CHANDRA. Chapter 11

Keadaan di rumah nggak pernah setegang ini.

Suasana malam yang sama sekali nggak ngenakin. Waktu makan malam tadi, meja makan sepi tanpa obrolan. Mama dan Ai yang biasanya ngobrol juga kali ini tutup suara. Nggak ada yang mau ngomong banyak. 

Sebenarnya semuanya lagi pusing muter otak buat mikirin masalah yang terjadi sama usaha toko kelontong keluarga kami beberapa bulan belakangan. Krisis ekonomi makin gila-gilaan. Papa udah nggak sanggup lagi ngejalanin usaha ini. Dari hari ke hari, bukannya maju dan menghasilkan uang, toko malah terus-terusan rugi.

Harga beli barang tinggi, modal pun naik, harga jual nggak bisa selalu naik. Keuntungan yang biasanya cukup buat muter modal lagi dan bayar karyawan, sekarang cuma cukup buat muter modal aja. Dengan harga jual yang berbanding tipis, keuntungan yang didapat nggak bisa banyak, sedangkan jumlah uang yang mesti dikeluarin cukup besar.

Papa dan Mama sebenarnya udah ngambil banyak keputusan untuk mengantisipasi krisis ini dengan meminimalisir pengeluaran listrik dan telepon di toko, pemangkasan biaya belanja di rumah, sampai uang jajan saya dan kakak saya yang akhirnya juga dikurangi. Rumah pun nggak disuplai barang-barang dengan jumlah berlimpah lagi sekarang.

Nggak ada camilan, buah cuma satu macam aja, kebutuhan mandi kayak sampo dan sabun pun sekarang dijatah, termasuk juga telepon yang dicabut setiap malam dan saya yang udah nggak bisa telepon-teleponan lagi sama Lian. Tapi sepertinya, itu semua nggak berpengaruh banyak. Defisit tetap aja terjadi. Parahnya lagi, Papa nggak punya investasi cadangan atau bidang usaha lain yang bisa dipakai untuk menopang toko sembako yang ada di Kampung Awi.

“Jadi gimana? Kita punya keputusan udah bulat?”

Hampir pukul sepuluh dan Mama belum tidur. Padahal biasanya semua orang udah di kamar. Papa masih duduk di sofa, lebih banyak menghabiskan waktunya buat bengong karena nggak tahu mesti ngelakuin cara apa lagi untuk membuat toko tetap berjalan tanpa perlu memberhentikan karyawan-karyawan yang ada.

“Satu-satunya cara cuma itu. Nggak ada lagi cara yang lain,” ucap Papa, nada bicaranya terdengar pasrah.

Saya menguping pembicaraan mereka dari ruang tengah. Sambil nonton acara Layar Emas di RCTI yang udah dilanjutin lagi setelah Dunia Dalam Berita selesai pukul setengah sepuluh tadi.

“Tapi kasihan orang-orang situ, Pa.” Mama masih aja nggak setuju.

“Elu kasihan sama mereka, tapi nggak kasihan sama gua. Pusing putar uang nih. Nggak tahu gua mau putar ke mana lagi.”

Saya menoleh ke arah sana. Tampang Papa udah kusut banget, dan Mama sendiri selalu bertahan dengan perasaan nggak teganya. Tapi setelah jeda beberapa lama, akhirnya Mama mengalah karena memang nggak bisa memberi masukan lain sebagai solusi.

“Gua percaya aja lah lu ambil keputusan apa,” ucap Mama, akhirnya.

“Ya maka itu. Besok kita kumpulin semua anak-anak. Kita bilang, akhir bulan udah nggak ada lagi kerjaan.”

Ruang depan berubah hening sesaat. Papa dan Mama sepertinya udah selesai ngobrol. Atau bisa jadi, mereka masih memikirkan kemungkinan jalan keluar terbaik?

Di dapur, Ai membereskan piring-piring yang tadi dipakai untuk makan. Saat dia lewat ruang tengah, saya masih duduk nonton TV.

“Belum tidur Chēn?”

Lihat selengkapnya