Jakarta, akhir Desember 2012. Sebulan sebelum kematian Bima.
Ini yang disebut Ibukota. Surga buatan yang dibangun di atas neraka. Jakarta adalah fatamorgana nyata tentang Indonesia. Gedung-gedung molek menindih pemukiman kumuh, hegemony urban yang berpesta menggunakan suara tangis masyarakat miskin sebagai musik, birokrat yang bermobil dan berbaju mentereng selalu punya perut ganda untuk menampung banyak harta hasil hitung-hitungan curang semasa kerjanya.
Ketika gue keluar dari gedung menjulang Central Park di daerah Grogol dan melewati lahan parkir sepeda motor, gue telah menemukan Jakarta dalam wajah yang sebenar-benarnya. Di balik beton sana, mobil-mobil mewah terparkir nyaman. Sementara dalam jarak puluhan meter saja, sepeda-sepeda motor berjajar di bawah jalanan. Letaknya menjorok ke bawah seperti tertinggal di jurang. Jakarta secara tidak langsung menerjemahkan bahwa strata dan status sosial masih jadi hal yang digunakan untuk mengelompokkan manusia dalam kasta-kasta.
Keluar dari daerah Grogol, bus Transjakarta yang gue tumpangi menembus jalan raya yang panjang menuju sebuah rute di daerah Johar Baru. Pemandangan di sepanjang jalan yang gue lalui menyajikan kota makmur yang diisi kekacauan lalu lintas tak berkesudahan. Hampir di setiap lampu merah, sepeda motor menerobos garis putih seolah hal tersebut adalah sesuatu yang wajar. Belum cukup dengan pejalan kaki bernyawa kucing, yang berani melenggang di antara kendaraan-kendaraan yang melaju cepat. Padahal belasan meter di sampingnya, jembatan penyeberangan menjadi sarana yang menjamin keamanan.
Enggak tahu ini salah siapa. Entah budaya, entah kemalasan aparat dan mereka yang berwenang untuk kampanye atau sosialisasi budaya keamanan dan ketertiban berlalu lintas, atau apa? Sepertinya, kita semua sama-sama tidak serius menanggapi hal ini. Dan peraturan cuma dijadikan tempelan yang enggak perlu dipatuhi. Atau malah… marka dan rambu sudah dianggap menjadi pajangan seni di tempat umum? Seperti halnya graffiti yang memenuhi ruang kosong di bawah jembatan-jembatan layang dan sudut-sudut lain ibu kota.
Inilah wajah Jakarta. Kota yang menumpukkan tawa dan ratapan tangis di dalam kubang yang sama.
* * *
Sudah cukup lama gue enggak mendaratkan kaki di tanah ini. Di sebuah kampung di mana gue pernah mengalami masa-masa gila yang penuh emosi bersama dua orang sahabat terbaik dalam hidup; Amri dan Chandra.
Kedua manusia itu sudah memiliki hidup yang menyenangkan sekarang. Standar hidup orang Indonesia, Chandra menyebutnya begitu. Memiliki pekerjaan atau bisnis yang mampu memenuhi kebutuhan hidup, punya tabungan, dan yang terpenting kendaraan pribadi―penyebab kemacetan―sebagai kaki untuk melangkah. Bukankah itu yang jadi impian kebanyakan orang di negara kita? Mereka seringnya lupa kalau ada sisi lain dalam hidup yang perlu dipenuhi, bukan sebatas kebutuhan pribadi semata.
Tapi untungnya, Amri dan Chandra membangun idealisme yang sama seperti gue sejak dulu. Gue selalu meyakini kalau hidup akan lebih baik jika kita menaruh kepentingan orang lain dalam kepentingan diri sendiri, bukan sebaliknya.
Kami bekerja keras untuk hal tersebut. Membangun sikap toleransi, mengulurkan bantuan dan satu kosakata sederhana yang seringkali sulit untuk dilakukan, yaitu berbagi. Begitulah yang kami kerjakan selama beberapa tahun terakhir.
Sebuah rumah yang ada di hadapan gue telah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Bangunan lama tersebut telah dipugar menjadi baru. Dulu, rumah ini beratap genteng tanah liat yang kadang bocor setelah diterpa panas dan hujan bergantian. Kini, setiap dinding di dalamnya dilapisi wallpaper berwarna abu-abu―warna kesukaan pemiliknya.
Gue mendorong pagar hitam setinggi dada yang membatasi halaman rumah dengan jalanan di depannya. Wanita paruh baya yang bekerja di sini tengah membersihkan halaman dari debu dan daun-daun kering. Ada pohon jambu air di depan rumah. Pohon tersebut adalah satu-satunya yang enggak berubah dari rumahh ini. Ya... walaupun pohon jambut itu sudah enggak pernah berbuah lagi, tapi tetap produktif menanggalkan daun-daun tuanya.
“Cari Pak Amri ya, Mas?” tanya si wanita tersebut begitu melihat kedatangan gue.
“Udah bangun dia?” Gue balik bertanya. Sebuah keberuntungan bisa bertemu Amri di rumah, karena biasanya dia sibuk dengan segala rutinitas kerjanya. Dan gue tahu banget, Amri masih berkutat dengan penyakit lamanya: tidur siang ketika tidak ada pekerjaan atau aktivitas yang mesti dilakukan.
“Udah, Mas. Dari tadi,” jawab wanita tersebut, lalu kembali menyapu daun-daun kering dan mengumpulkannya ke dalam pengki.
Gue berjalan santai ke dalam rumah. Pemandangan pertama yang langsung terlihat adalah surat kabar harian yang selalu dipesan Amri. Ada beberapa jenis: Media Indonesia, The Jakarta Post, Kompas dan majalah Time. Semuanya memuat jenis berita dan artikel berbau politik, sosial dan budaya. Gue mengambil salah satu, menjatuhkan tubuh di atas sofa, melipat sebelah kaki dan mulai menikmati bacaan tersebut.
Belum sampai sepuluh menit gue menyusuri kalimat-kalimat editorial dan wacana strategi sang Gubernur baru ibu kota soal persiapan menghadapi banjir tahunan, suara Amri masuk ke dalam telinga gue.
“Dari tadi, Bro?”
Gue menurunkan koran dari pandangan mata.
“Gue janji sama Chandra jam lima.”
Amri langsung melirik jam dinding, dia tahu kalimat gue barusan menegaskan kalau gue enggak terlalu suka keterlambatan.
“Gue ganti baju dulu ya,” pamitnya, dan gue melanjutkan bacaan yang terpotong tadi.