Pikiran gue terbang ke masa lalu.
Ini tentang hidup gue. Hidup yang dimulai hampir tiga puluh tahun lalu. Bermula dari pertemuan Bapak dan Ibu yang jatuh cinta di tahun 60-an, di masa pemberontakan G-30S PKI, ketika politik Indonesia mengalami kisruh karena kudeta yang dilakukan DN. Aidit dan kroni-kroninya.
Waktu gue kecil dulu, Ibu selalu menceritakan cerita cintanya. Mungkin dia pikir, cerita cinta adalah dongeng pengantar tidur yang paling menarik. Padahal, di usia gue yang masih terlalu kecil, gue lebih suka cerita Gundala Putra Petir daripada kisah asmara Ibu dan Bapak. Tapi anak-anak seringnya enggak punya pilihan, jadi gue mendengar saja tanpa menginterupsi. Sialnya, Ibu menceritakan lagi besok, besoknya, dan besoknya lagi.
Sejak awal perkenalan Ibu dan Bapak, keluarga besar Ibu sudah enggak setuju dengan hubungan mereka. Bapak tua―demikian gue menyebut orang tua Ibu yang enggak lain adalah kakek gue sendiri―selalu menentang hubungan Ibu dan Bapak. Dia ingin Ibu menikah dengan lelaki berpangkat keperwiraan, tapi kenyataannya Ibu tetap nekat menikah dengan seorang buruh lepas.
Pernikahan Bapak dan Ibu membawa gue dan Yudis lahir ke dunia ini. Yudistira adalah kakak lelaki sekaligus satu-satunya yang gue punya. Waktu Yudis berumur empat tahun, seorang anak yang dinamai Bima lahir. Mungkin Bapak dan Ibu berencana memiliki lima orang anak agar bisa dinamai seperti nama-nama Pandawa Lima dengan lengkap. Sayangnya, saat gue akan berumur lima tahun, Bapak dan Ibu memutuskan bercerai.
Gue enggak tahu apa yang meyebabkan keduanya berpisah. Ibu bilang, Bapak ada ‘main’ dengan perempuan lain. Mungkin hal tersebut benar terjadi, atau bisa jadi itu hanya cerita karangan Ibu, karena setahun kemudian Ibu juga menikah lagi. Dia menikah dengan lelaki yang pernah dijodohkan oleh si Bapak tua dulu.
Setelah bercerai, gue tinggal bersama Ibu dan suami barunya yang gue panggil Om. Ibu melahirkan seorang anak perempuan setahun kemudian yang tidak mungkin dinamainya Arjuna.
Sikap Ibu berubah sejak menikah lagi. Dia masih bercerita soal cerita-cerita cintanya sesekali: mulai dari menceritakan Bapak sampai suami barunya itu. Tapi seringnya, Ibu cuek kepada gue dan Yudis. Dia sibuk dengan anak perempuannya, dan lebih sibuk lagi ketika suami barunya ada di rumah.
Ketika si Om yang berpangkat keperwiraan itu sedang ada di rumah, Ibu malah jarang sekali bicara pada gue dan Yudis. Sepertinya sikap cuek Ibu itu dipengaruhi oleh suami barunya.
Sampai usia gue delapan tahun, dan Yudis dua belas, kami masih tinggal bersama Ibu dan keluarga barunya. Suatu malam sebelum tidur, Yudis mengambil tas dari dalam lemari dan merapikan pakaian-pakaiannya.
“Lu mau ikut gua?” tanya Yudis sambil mulai memasukkan pakaiannya ke dalam tas.
“Ke mana?” Gue enggak tahu akan ke mana Yudis bersama tas dan pakaian yang tengah dikemasinya.
“Pergi,” jawab Yudis, pendek.
“Ke mana?” tanya gue lagi.
“Keluar dari sini. Mungkin ke rumah Bapak.”
Gue enggak mengiyakan ajakan Yudis. Gue enggak tahu alasan apa yang membuat Yudis ingin pergi dari rumah. Dan gue sendiri masih terlalu kecil untuk memutuskan untuk ikut pergi atau enggak. Yudis cuma bilang kalau dia enggak betah tinggal bersama Ibu di sini. Yudis enggak suka dengan sikap Ibu yang seperti itu. Apalagi belakangan Ibu sering memarahi Yudis kalau dia menentang keinginannya. Yudis juga bilang kalau dia enggak suka dengan si Om, bahkan membencinya.
Besoknya, Yudis menemui Ibu dan bilang kalau dia akan pergi ke rumah Bapak. Ibu cuma diam tanpa mengiyakan, dan Yudis tetap pergi pada akhirnya.
Setelah keluar dari rumah Ibu, Yudis pulang sesekali. Dia datang untuk menengok gue sekaligus menanyakan kapan gue akan ikut keluar dari rumah Ibu seperti yang dia lakukan? Gue bilang, belum tahu.
Hubungan Yudis dan Ibu sama sekali enggak baik setelah Yudis meninggalkan rumah. Ibu memang enggak pernah bertanya tentang apa yang Yudis katakan ke gue setiap kali dia datang. Sepertinya Ibu takut kalau Yudis akan mempengaruhi gue. Meski sebenarnya, hal itu memang benar-benar sudah terjadi.
Ibu selalu bilang kalau dia pengin gue tetap tinggal di rumah bersamanya. Gue enggak menjawab ‘iya’ atau sebaliknya. Gue membiarkan waktu menunjukkan bagaimana sikap Ibu selanjutnya. Dan gue akan memutuskan setelah itu.
* * *