PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #34

FRAGMEN 3 - BIMA. Chapter 3

Gue adalah orang yang bebas, yang selalu memiliki hidup sendiri.

Gue belajar kalau bahagia mestinya diciptakan oleh diri sendiri, karena aneh rasanya melihat orang yang memilih untuk berkumpul ramai-ramai baru bisa merasa bahagia. Bagaimana mungkin perasaannya mesti ditentukan oleh orang lain? Walau kadang gue juga dinilai aneh karena persepsi tersebut. Terlebih Chandra yang selalu butuh teman dan butuh keramaian untuk merasa ‘hidup’.

Mungkin hidup yang membentuk pemahaman gue seperti itu. Karena gue enggak menemukan arti bahagia justru dalam sebuah keramaian, terlebih keluarga.

Usia gue dua belas dan Yudis enam belas ketika kami tinggal di rumah Nenek. Waktu itu, untuk berbagai urusan rumah, ada Nenek yang mengurusnya. Tapi beberapa hal lainnya, kami lebih sering mengurusnya sendiri.

Tugas Nenek sehari-hari adalah memasak dan menyiapkan makanan, membuka pintu rumah jika Yudis pulang larut malam, serta membangunkan gue pagi-pagi untuk bersiap-siap ke sekolah. Enggak ada obrolan, tanya-jawab tentang keadaan sekolah hari ini apalagi waktu untuk curhat. Enggak ada didikan orang tua semacam nasihat atau yang lainnya, seperti yang sering gue lihat dan dengar dari teman-teman seusia. Kalau gue butuh sesuatu, gue akan minta dari Yudis. Kalau gue ingin cerita sesuatu, gue akan cerita ke Yudis. Teman ngobrol gue saat di rumah cuma Yudis. Itupun kalau Yudis pulang sebelum gue tidur. Seringnya, Yudis pulang larut ketika gue sudah mengantuk atau sudah benar-benar terlelap.

Yudis putus sekolah. Dia enggak pernah menamatkan pendidikan SMU-nya. Alasannya praktis: kami butuh biaya hidup, dan enggak ada orang yang mau menopang kehidupan kami. Jadi Yudis berinisiatif untuk menjadi tulang punggung.

Sebagian besar kebutuhan gue dan rumah ditanggung oleh Yudis, juga uang belanja Nenek sehari-hari. Sebetulnya Nenek punya beberapa orang anak termasuk Bapak. Tapi selama setahun gue tinggal di sana, enggak ada seorangpun yang pernah datang menengok apalagi memberikan uang untuk Nenek. Jadi, gue dan Yudis sama sekali enggak perlu berharap untuk masuk hitungan.

Suatu hari Nenek jatuh sakit. Selama seminggu ia berada di kamar dan enggak bisa bangun dari tempat tidur. Yudis membawa Nenek ke dokter. Setelah minum obat beberapa kali, keadaan Nenek membaik. Tapi tubuh tua Nenek ternyata enggak bertahan lama. Kurang dari sebulan sejak jatuh sakit, Nenek meninggal dunia. Beberapa minggu sebelum usia gue menjadi empat belas tahun.

Kami mengantar Nenek ke pemakaman yang sepi. Enggak lebih dari dua puluh orang yang ikut menguburkan jenazah Nenek. Semua anak-anaknya datang. Jumlahnya lima orang dan beberapa bersama istri atau suaminya. Bapak sendiri ada di sana sebagai anak tertua.

Gue enggak menangis di hari pemakaman tersebut, Yudis juga. Saat jenazah Nenek masih di rumah, Yudis bilang kalau kematian enggak perlu ditangisi. Selain karena perintah Yudis, gue sendiri enggak ngerti, apa yang jadi alasan orang-orang setiap kali mereka menangisi seseorang yang sudah meninggal. Gue enggak pernah takut kematian, dan enggak takut ditinggal mati. Beberapa tahun terakhir gue merasa hidup ‘sendiri’. Gue enggak menikmati arti kebersamaan. Gue enggak merasakan nikmatnya kumpul bersama orang-orang terdekat dalam hidup. Mungkin itu sebabnya gue selalu merasa enggak butuh siapa-siapa, kecuali Yudis untuk saat ini.

Selesai dari pemakaman, gue, Yudis, dan anak-anak Nenek pulang ke rumah. Gue di kamar sama Yudis, Bapak dan adik-adiknya mengobrol di ruang tamu.

Obrolan di ruang tamu cukup jelas terdengar dari kamar kami. Yudis menaruh telunjuknya di depan bibir, meminta gue untuk enggak berisik. Dia menempelkan telinganya di dinding geribik bamboo, menguping pembicaraan di ruang tamu. Lalu, gue ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

Ada perdebatan di luar sana. Yang gue dengar, salah satu di antara anak-anak Nenek bicara soal warisan. Suara Bapak juga ada di sana, berbaur dengan suara-suara lainnya yang saling menyahut. Gue menoleh ke Yudis. Dia diam saja, masih fokus dengan apa yang didengarnya.

Enggak lama, Yudis pindah ke tempat tidur. Dia duduk bersila dan menopangkan dagunya di kedua tangan.

“Rumah ini mau dijual,” kata Yudis, berbisik. “Mereka keterlaluan. Padahal Nenek baru dikubur, udah ngomongin warisan aja,” lanjutnya.

Gue kembali menempelkan telinga di dinding geribik. Perdebatan di luar masih terjadi. Bapak ingin uang hasil penjualan rumah dibagi sesuai aturan hak waris, sementara adiknya yang paling kecil enggak setuju, karena kalau menggunakan aturan hak waris, dia akan mendapat bagian paling sedikit. Dia ingin uang tersebut dibagi dalam jumlah yang rata. Beberapa saat kemudian debat mulut terus terdengar.

“Kita harus cari kontrakan,” kata Yudis.

“Elu nggak mau usaha dulu supaya kita bisa tetep tinggal di sini?” tanya gue. Gue pikir, kenapa mesti pergi? Kalau orang-orang di luar sana memperebutkan rumah ini sebagai warisan, bukankah itu artinya gue dan Yudis juga punya hak untuk mendapatkan bagian? Paling enggak bagian kami adalah tinggal di rumah ini.

“Emang kita dianggap?” tanya Yudis, enggak yakin.

“Ada Bapak. Kita minta sama Bapak supaya dikasih izin tinggal di sini dulu.”

Yudis geleng-geleng kepala. Dia bangkit, menghampiri gue.

“Lu kira, mereka peduli sama kita? Kalo Bapak peduli sama kita, sekarang kita nggak ada di sini. Tapi di rumahnya. Orang tua macam apa coba yang ngebiarin anaknya tinggal sendiri dan nggak pernah nengokin sama sekali.”

Argumen Yudis membuat gue diam. Benar. Benar sekali. Sejak keluar dari rumah Ibu, gue bahkan belum pernah sekalipun ketemu Bapak. Itu juga yang membuat gue enggak pernah kangen, apalagi punya keinginan buat tinggal bersama Bapak.

Lihat selengkapnya