PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #35

FRAGMEN 3 - BIMA. Chapter 4

Setelah rumah Nenek dijual, Yudis membawa gue pergi ke sebuah daerah di Johar Baru. Kami menyewa rumah kontrakan tiga petak, dan benar-benar memulai hidup untuk diri sendiri. Yudis bekerja di sebuah toko baju di Pasar Senen. Dia pergi pagi hari dan pulang cukup sore.

Usia gue sudah lebih dari empat belas tahun ketika sampai di Kampung Anyar. Perkampungan yang kebanyakan diisi oleh warga asli yang hidup turun temurun dan beranak pinak di sini. Dari sana kemudian gue mengenal Amri dan Chandra. Seorang spesies endemik dan seorang keturunan Tionghoa yang selalu takut ketika diajak berkelahi.

Amri dan Chandra adalah orang-orang pertama yang gue kenal di kampung ini. Gue memulai sosialisasi dengan masuk ke dalam lingkaran pertemanan mereka. Seperti remaja lainnya, siang hari setelah pulang sekolah, kami pergi ke luar rumah untuk melakukan apapun yang kami suka. Kadang Amri dan Chandra datang ke rumah, kadang gue yang datang menemui mereka.

“Jangan pulang malam-malam,” pesan Yudis ketika gue menutup pintu kontrakan. Amri dan Chandra sudah menunggu di luar.

“Ayo cabut,” ajak gue, menemui mereka.

“Abang lu?” tanya Amri. Ini pertama kalinya ia bertemu Yudis.

“Nggak mirip,” komentar Chandra.

Gue enggak menjawab. Sepeda BMX Chandra langsung gue tunggangi. Anak sipit itu naik ke belakang, menginjak sadel besi yang menempel di poros roda, dan gue mulai menggoesnya.

“Ke mana?” tanya Amri. Bakat melankolisnya sudah terlihat sejak kecil ternyata. Penuh perencanaan.

“Jalan aja dulu,” jawab Chandra yang enggak pernah menyukai rencana-rencana detail.

“Kita ke lapangan badminton.”

Dan gue adalah orang yang akan memutuskan.

* * *

Seringnya gue akan pulang setelah lewat jam sembilan malam. Setelah Amri ‘merengek’ minta pulang, dan Chandra yang sedikit lebih ‘bebas’ dari Amri merasa kalau dia juga sudah mulai mengantuk.

Ketika pulang ke rumah kontrakan, gue akan menemukan Yudis yang selalu duduk di depan TV. Dia enggak pernah bosan dengan acara-acara serial yang diputar seminggu sekali, seperti komedi Gara-Gara misalnya.

Yudis hampir enggak pernah bergaul dengan lingkungan sekitar dan memilih berada di dalam rumah kalau enggak lagi berkerja. Dia enggak mau tahu urusan di luar rumah: apa yang terjadi dengan tetangga sebelah, penghuni baru di ujung deretan kontrakan kami, atau hal apapun itu. Dan dia sendiri enggak punya alasan yang pasti untuk hal itu.

Selain sikap apatisnya pada lingkungan, Yudis juga seorang pengurus rumah yang baik. Dia membersihkan semua ruangan dan menatanya dengan rapi. Dia mencuci baju gue dan membereskan perlengkapan sekolah yang berantakan.

Lihat selengkapnya