Bicara tentang Yudis di masa itu, sulit rasanya menyebut apa yang gue lihat sebagai normal atau abnormal. Karena apa yang jadi batasan normal dan abnormal itu sendiri gue kurang paham. Jadi, gue akan menyebutnya sebagai sesuatu yang janggal. Dan itu yang gue temukan pada Yudis.
Dulu, gue enggak bisa menemukan ‘perbedaan’ antara Yudis dan lelaki-lelaki lain, termasuk Bapak atau si Om berpangkat keperwiraan. Mungkin karena gue masih kecil saat itu. Tapi ketika usia gue beranjak remaja, gue mulai tahu kalau Yudis sedikit ‘berbeda’.
Gue harus bilang kalau Yudis enggak seperti lelaki kebanyakan yang pernah gue temui. Yudis enggak terlihat maskulin seperti gaya para lelaki ketika bicara, berjalan, atau mengomentari sesuatu. Yudis terlihat kemayu. Ketika bicara, dia gemar memutar bola matanya, atau membuat tatapan tajam dan mata yang dibuat menyipit. Tangannya lincah bergerak ketika sedang berargumen atau bicara dalam kalimat yang cukup panjang. Dan ketika berjalan, dia pun terlihat gemulai.
Yudis juga menunjukkan sikap dan cara pandang yang berbeda. Gue baru menyadari kalau Yudis adalah tipe orang yang begitu sensitif terhadap segala sesuatu. Dan soal ocehan rewelnya pada gue, sebetulnya sudah sejak dulu dia begitu. Ketika kami masih tinggal di rumah Ibu dulu, dia senang berkomentar soal Ibu, Bapak, bahkan tentang gue sendiri. Hanya saja, gue enggak menyadari itu. Ketika kebanyakan lelaki cenderung enggak peduli dengan sikap dan tindakan orang lain, Yudis malah meributkan sesuatu yang bahkan sepele.
Awalnya gue enggak mempermasalahkan gaya kemayu Yudis. Mau seperti apapun gaya berjalan dan bicaranya itu, gue enggak peduli. Gue enggak pernah terganggu dengan sikap femininnya. Tapi perlahan, ketika lingkungan dan orang-orang di sekitar mulai bicara soal Yudis, gue merasa enggak nyaman.
“Abang lu kayak cewek, ya,” komentar Chandra suatu kali ketika kami nongkrong di lapangan badminton.
Si sipit itu memang suka ceplas-ceplos. Dia beruntung karena jadi sahabat gue. Kalau enggak? Sudah gue kasih bogem mentah buat komentarnya itu
Gue enggak menyukai kalimat tersebut. Dan rasa enggak nyaman tersebut muncul begitu saja ketika mendengarnya. Entahlah. Yang jelas, gue enggak suka seseorang memperolok Yudis atau mengomentari gaya dan kepribadiannya yang feminin.
Komentar Chandra hanyalah sebuah awal, karena setelah itu semakin banyak suara-suara masuk ke telinga gue soal Yudis. Bukan Chandra lagi yang meluncurkan komentar miringnya. Anak itu sudah lebih dulu gue peringati agar enggak berkomentar apapun, dan sepertinya dia tahu kalau gue selalu serius dengan apa yang gue katakan.
Gunjingan terbesar tentu datang dari tetangga-tetangga terdekat. Mereka memang enggak bicara langsung di depan gue atau Yudis. Tapi mata gue terlalu jeli untuk menemukan sekumpulan Ibu-Ibu yang mengobrol sambil berbisik-bisik, lalu salah satunya melirik ke arah pintu kontrakan rumah kami. Begitulah kurang lebih. Sementara kaum Bapak seringnya terlihat diam di depan, karena cara mereka bergunjing adalah dengan menjadikan Yudis sebagai bahan olok-olok.
Gue rasa Yudis tahu tentang keadaan ini, tapi dia memilih diam. Saat di rumah, enggak pernah ada obrolan yang menyangkut masalah tersebut. Yudis melakukan hal-hal yang biasa dia lakukan, bertanya apa yang biasa dia tanyakan, dan mengoceh apa yang biasa dia ocehkan.
* * *