‘Yudis bencong… Yudis bencong…’
Gue pernah mendengar teriakan yang disertai tawa dan sorak gembira anak-anak kecil yang memperolok Yudis. Rupanya anak-anak cepat belajar kosakata. Segerombolan anak kecil itu berjalan mengikuti Yudis seperti arak-arakan. Yudis menghalau mereka dengan batu, dan ketika pintu rumah kontrakan kami dibuka, gue menemukan muka kesal Yudis. Dia memang enggak cerita atau mengungkapkan kekesalannya dalam kata-kata atau tindakan apapun. Tapi mukanya itu enggak bisa menutupi kekesalan yang dia rasakan.
Setelah berada di dalam rumah, Yudis enggak mau bicara. Dia hanya pergi ke belakang untuk mencuci muka, lalu masuk ke ruang tengah dan bersandar di dinding rumah kontrakan kami sambil menonton TV.
“Anak-anak ngeledek lu lagi?” tanya gue setelah memberikan waktu yang cukup panjang untuk Yudis berdiam dengan tontonannya.
“Cuma anak kecil,” jawabnya singkat, ada nada suara judes di sana.
“Masalahnya bukan itu, kan?”
Yudis melirik. Mestinya dia tahu maksud gue. Selama ini ibu-ibu tetangga kami dan bapak-bapak bermulut usil juga pernah memperoloknya. Tapi Yudis selalu tutup mulut dan telinga soal omongan tersebut. Dan gue juga enggak tahu harus melakukan apa. Maksudnya, apa gue harus mengomeli ibu-ibu itu? Ah, gue malah jadi lebih buruk dari banci kalau harus terlibat adu mulut dengan ibu-ibu.
“Biarin aja,” sahut Yudis setelah jeda yang cukup lama.
“Elu setuju dong sama omongan mereka?”
Yudis melirik ke arah gue. Kata-kata barusan terdengar sensitif baginya rupanya. Dia kemudian mematikan TV, mengambil jaket, lalu pergi ke luar. Dia marah.
* * *
Apa yang terjadi pada Yudis?
Gue tahu, orang-orang menyebut Yudis bencong karena gaya kemayunya. Meski gue sendiri bertanya, ada masalah kah dengan gaya tersebut? Apa karena setiap lelaki harus bergaya sok macho, berjalan dengan tegap dan mantap, bicara dengan nada yang dibuat garang? Seperti itu kah? Apa hanya karena gaya bicara, berjalan, dan berpakaian yang maskulin itu kita baru bisa disebut lelaki?