PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #39

FRAGMEN 3 - BIMA. Chapter 8

Gue kenal beberapa orang selain Amri dan Chandra di Kampung ini. Gue kenal anak-anak tongkrongan di dekat Pos RW, tongkrongan lain yang biasa kumpul di persimpangan gang menuju jalan raya, juga seorang yang disebut pentolan pemuda Kampung Anyar yang bernama Awang. Tapi pertemanan bersama Amri dan Chandra lah yang memiliki kualitas lebih baik dibanding yang lainnya.

Selama tinggal di rumah kontrakan Pak Haji, Amri dan Chandra pernah menginap beberapa kali. Mereka tentu kenal Yudis. Jarang ketemu memang, dan cuma tahu kalau Yudis adalah kakak lelaki gue―juga anggota keluarga satu-satunya.

Jadi, soal Yudis dan kelakuannya yang menyimpang, tentu mereka berdua juga tahu. Tapi enggak ada yang lebih mengejutkan selain sesuatu yang kami temui di dalam tas Yudis pada suatu malam. Sesuatu yang semakin membuka mata gue pada sosok kakak lelaki gue sendiri, dan menggertak penerimaan gue yang semakin lama semakin surut kadarnya.

 Yudis pulang agak malam hari itu. Seperti biasa, dia menggantungkan tasnya di paku yang menempel di dinding, lalu pergi untuk mandi. Amri dan Chandra sedang menginap di rumah. Nintendo milik Chandra jadi fokus konsentrasi kami sehingga kedatangan Yudis sama sekali enggak dihiraukan. Tapi tatapan kami segera berpindah setelahnya ketika paku yang digunakan untuk menggantung tas Yudis terlepas dan menjatuhkan benda tersebut serta beberapa isi di dalamnya yang ikut menghambur keluar.

Awalnya, kami cuma kaget dengan bunyi berdebam dari tas yang jatuh itu. Tapi ketika beberapa kosmetik kemasan keluar dari sana, dan sebuah kain berwarna mencolok menyembul di dalamnya, kami sadar kalau apa yang kami lihat bukanlah sesuatu yang umum ditemui dari tas seorang laki-laki.

Gue segera mengambil tas tersebut, mengumpulkan barang-barang yang tercecer dan memasukkannya kembali. Tapi kain berwarna mencolok tersebut mengundang rasa penasaran gue.

Apa ini? Batin gue. Gue mengamatinya sejenak. Meski enggak tahu apa namanya, tapi gue cukup bisa membedakan antara pakaian lelaki dan perempuan. Dan yang namanya baju berpotongan panjang seperti itu, sama sekali bukan baju yang diperuntukkan bagi laki-laki.

Chandra melirik ke arah gue. Pasti ada tanda tanya besar di dalam kepalanya, tapi dia memilih untuk diam dan enggak bertanya, begitu juga dengan Amri.

* * *

Gue enggak tahu apa isi kepala seorang Yudis. Enggak cukup dia mengejutkan gue dengan orientasi seksualnya serta pakaian perempuan yang ada di dalam tas. Dia kembali pada suatu tengah malam dengan bau alkohol dan parfum yang menyengat. Ketika dia jatuh di tempat tidur dengan tampang yang kelelahan, gue menemukan kalau wajah Yudis dipoles riasan. Warna merah di bibirnya, juga bedak dan pewarna di bagian pipinya.

Gue terhenyak, dan segera bangun dari tempat tidur. Rasanya seperti bertemu orang asing di dalam rumah sendiri. Siapa lelaki yang ada di samping gue ini? Seluruh isi kepala dan naluri lelaki gue menolak keberadaan Yudis yang berubah wujud seperti perempuan sekarang ini.

Gue menarik tubuh Yudis. Dia yang hampir tertidur segera menolak ketika dipaksa membuka mata.

“Yudis. Elu gila ya?” bentak gue setelah menyalakan lampu kamar tengah. Ruang yang terang benderang semakin menunjukkan wajah Yudis yang sekarang lebih terlihat mirip perempuan daripada lelaki.

“Yudis, bangun!” Gue membentak sekali lagi. Tapi tubuh Yudis kembali merosot jatuh ke tempat tidur.

Dengan suara seperti meracau, dia menjawab, “Jangan panggil gua Yudis. Gua ini... Yuli. Atau... panggil aja... Yul.”

“Bangun lu!” Gue memaksa Yudis untuk bangkit sekarang.

“Gua ngantuk. Lagian jam berapa sih sekarang? Udah lewat tengah malem tahu.” Dia menolak.

“Elu ngapain dandan kayak cewek begini?”

Yudis tidak menyahut lagi. Ia benar-benar terpejam sekarang.

Dengan perasaan geram, gue pergi ke kamar mandi untuk mengambil air dalam ember lalu menyiramnya ke muka Yudis.

Lihat selengkapnya