PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #40

FRAGMEN 3 - BIMA. Chapter 9

Gue menutup kepala dengan tudung jaket ketika keluar rumah. Omongan orang di luar semakin menjadi. Cibiran yang enggak nyaman didengar telinga. Dan ketika gue melintas di depan tetangga-tetangga, tatapan mata mereka seolah menceritakan rasa jijik terhadap Yudis yang disampaikan secara tidak langsung kepada gue.

Anak-anak yang bercanda sering menggunakan nama Yudis sebagai bahan olok-olok. Yang kalah harus cium Yudis bencong ya! Kelakar mereka ketika bermain kelereng. Memang hanya candaan. Tapi, bukankah anak kecil selalu berkata jujur? Bahkan dalam candaan mereka sekalipun.

Amri dan Chandra seolah tutup mata dan telinga. Chandra pernah keceplosan mengomentari gaya kemayu Yudis, tapi dia cepat sadar begitu melihat ketidaksukaan gue atas komentarnya itu. Dan pernah sekali waktu dia bertanya dengan sangat jujur. Abang lu homo ya? Brengsek! Tahu apa dia soal homo? Walaupun kenyataannya memang begitu. Tapi sebagai teman, gue sama sekali enggak mengharapkan kata-kata tersebut keluar dari mulutnya. Meski gue sendiri juga belum bisa menerima keadaan Yudis.

Belum bisa.

Sampai kejadian di pagi buta itu. Setelah azan subuh. Setelah Yudis pulang dari ‘keluar malem’ yang digunakan Pak Haji sebagai kosakata pengganti.

Gue menunggu Yudis yang belum pulang sejak kemarin malam. Sejak malam di mana gue meninju dia karena menemukan riasan di wajahnya, kami lebih sering saling diam. Yudis menutup akses supaya enggak terlibat obrolan dengan gue. Dan gue juga cuma bicara kalau ngerasa ada yang perlu dibicarakan.

Yudis yang jarang di rumah dan lebih sering berada di luar. Entah ke mana dia, dan apa yang dia lakukan di luar sana? Sepengetahuan gue, Yudis juga jarang berangkat kerja di pagi hari sekarang. Apa dia masih kerja di Pasar Senen? Gue rasa enggak. Dia sering pulang menjelang pagi sekarang. Lalu tidur dan bangun di tengah hari.

Gue menyimpulkan ada rahasia lain yang Yudis sembunyikan, dan Yudis mesti menjelaskan hal tersebut. Tanpa sepengetahuan gue, desas-desus tersebut beredar beberapa minggu belakangan. Kalau Yudis pergi malam dan pulang pagi untuk sebuah hal. Orang-orang yang bergunjing tentang Yudis menyebutkan kalau dia menjual diri. Menjajakan kenikmatan sesaat untuk pengejar cinta semu.

“Dari mana aja lu?” Gue menghadang Yudis di pintu kamar tengah. Bukannya menjawab Yudis malah pergi ke kamar mandi.

Suara kucuran air terdengar dari dalam. Dia sedang membersihkan riasan wajahnya. Gue menunggu Yudis keluar dari kamar mandi. Ketika dia muncul, gue melanjutkan.

“Elu kerja apa sekarang?”

“Kenapa sih lu?” Yudis balik bertanya.

“Elu ke mana aja tiap malem?”

“Bukan urusan lu.” Yudis meluyur ke kamar depan. Gue menyusulnya. Di sana, Yudis duduk sambil membuang mukanya ke tembok.

“Gua tahu apa yang lu lakuin di luar setiap kali pulang pagi.”

Yudis merogoh saku celananya, mencari sesuatu. Setelah menemukannya, dia menyelipkan benda yang dicari itu di sela bibir. Oh, dia juga merokok sekarang.

“Terus, kalo lu tahu. Lu mau ngelarang gua?”

Gue menghampiri Yudis, berdiri tepat di hadapannya.

“Elu bisa kan ngerjain yang lain, selain jadi bispak?”

Yudis melirik spontan dengan tatapan tajam.

“Elu mikir nggak, selama ini makan darimana?” jawab Yudis setelahnya.

“Justru! Kalo alasan lu cuma duit, gua bisa kerja. Gua bisa ngidupin diri sendiri.”

“Lu tahu apa sih tentang hidup?”

“Gua nggak mau punya abang banci!” Kalimat itu keluar juga pada akhirnya.

Yudis bangkit. Enggak ada percakapan di antara kami memang, hanya pandangan yang bertemu dan emosi yang siap meledak. Dan secara spontan, gue menyebut kosakata tersebut. Kebencian yang diberikan orang-orang yang tertelan secara enggak langsung oleh diri gue sendiri.

Lihat selengkapnya