PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #41

FRAGMEN 3 - BIMA. Chapter 10

Ada kebencian yang ditumpuk dari waktu ke waktu.

Rasa marah dan penolakan dalam diri gue sudah lama mengendap, dan dari ke hari kadarnya semakin tinggi. Gue hanya enggak mau jujur kalau sikap dan pelampaisan amarah gue ke Yudis sebetulnya enggak adil. Kemarahan gue mestinya tertuju pada orang-orang di sekitar gue, bukan pada Yudis. Tapi di masa remaja itu, gue terlalu sombong untuk mengakuinya.

Pemukulan terhadap salah satu anak di tongkrongan waktu itu rupanya enggak cukup meredam emosi gue. Yang terjadi berikutnya, gue malah jadi lebih mudah terpancing. Waktu Yudis bilang kalau lebih baik kami pindah ke tempat lain, tentu gue curiga ada satu hal lainnya yang disembunyikan Yudis.

“Mau ke mana sih? Di sini udah enak. Sekolah gue juga deket. Pak Haji juga baik sama kita.” Komentar gue, enggak setuju dengan ide Yudis.

Lagi-lagi Yudis bilang Cuma pengin pindah. Dan semakin dia menjawab dengan jawaban biasa-biasa saja, justru semakin besar rasa penasaran gue.

Gue terus mendesak, dan akhirnya Yudis menceritakan semuanya. Mengeluarkan semua yang dia sembunyikan selama ini dari gue.

Pelecehan demi pelecehan yang Yudis alami di jalan, dan alasan besar kenapa akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kerja di Pasar Senen dan lebih memilih menjadi pekerja seks dan berada di lingkungan para waria.

“Elu tau, gua beda dari cowok-cowok yang lain. Dari kecil, gua selalu dikata-katain, dihina, dikerjain. Mereka bilang gua banci. Gua kayak cewek.

Waktu SD, setiap hari gua jadi bulan-bulanan temen-temen sekolah. Gua nggak pernah ngalamin yang namanya hidup tenang dan nyaman. Gua ngerasa ditolak. Gua bukan orang normal yang bisa hidup bareng-bareng sama mereka secara damai.

Sampai sekarang, setelah dewasa pun, gua berusaha untuk nyari lingkungan yang bisa bikin gua nyaman dan ngerasa aman.

Elu nyuruh gua cari kerjaan lain? Elu tau nggak, buat orang kayak gua nyari kerjaan yang cocok itu susah?

Gua pindah kerja dari Pasar Senen bukan karena gua mau. Setiap hari gua digodain. Preman-preman pasar sering nyolek-nyolek pantat gua, mereka juga malakin gua buat beli rokok. Kadang ada cowok yang reseh, gua dijegal di tengah jalan, digodain. Lu kira nyaman punya hidup kayak gitu?

Kalo pun gua milih kerjaan yang sekarang. Karena gua diterima sama mereka. Gua nemuin lingkungan di mana gua nggak perlu ngerasa beda, nggak perlu ngerasa takut.”

Gue menarik napas panjang. Yudis masih terus melanjutkan ceritanya.

“Kalo lu mau ikut gua pindah, ayo. Kalo nggak, gua nggak maksa. Mungkin lu ngerasa lebih baik hidup sendiri. Gua tahu, lu capek denger omongan orang-orang. Tapi asal lu tahu, Bim. Jadi bahan omongan nggak pernah enak. Kalo lu aja yang denger pengin menghindar, apalagi gua yang jadi bahan omongannya.

Dan asal lu tahu, gua juga udah capek dikerjain anak-anak kampung sebelah. Mungkin anak sini cuma berani ngeledekin doang karena dia takut sama lu dan Awang. Tapi anak Kampung Awi?” Yudis berhenti sejenak.

“Mereka ngapain lu?” tanya gue cepat. Brengsek, rupanya anak-anak kampung sebelah nggak kalah bejatnya sama anak kampung sini.

“Gua nggak mau cerita karena gua tahu siapa lu. Elu pasti bakal langsung ngamuk dan nyamperin mereka. Makanya gua lebih milih untuk diam. Tapi lama-lama gua nggak tahan. Kalo kita pergi dari sini, mungkin semuanya bakal lebih baik. Paling nggak, untuk sementara gua nggak perlu ngerasa takut lagi.” Terang Yudis. Dia enggak menjelaskan secara pasti, tapi gue lebih tahu keadaan yang sebenarnya kini.

Lihat selengkapnya