Gue, Amri dan Chandra tiba di jalan raya yang memisahkan Kampung Anyar dan Kampung Awi. Chandra membuang puntung rokok ke tanah, menginjaknya sekali untuk mematikan api di ujung lintingan tembakau itu.
Jejak-jejak di lapangan badminton sudah terekam di kamera SLR dan handycam miliknya. Sepuluh menit kami di sana. Cuma lewat. Karena setelah itu, Chandra mengajak kami melanjutkan perjalanan. Tidak tanggung-tanggung, pilihannya langsung menyeberang kampung.
“Gue mau tahu, toko Bokap udah jadi apaan sekarang,” katanya.
“Yang gue tahu sih, terakhir udah jadi bengkel, Bro,” jawab Amri. Dia jelas tahu. Berapa tahun sih dia tinggal di sini?
Kami menyeberang jalan. Mulut jalan yang dulunya dicor beton seperti jalan MHT, kini berubah menjadi aspal hitam dengan gapura di kiri dan kanan jalan.
Suasana sore yang diisi keramaian anak-anak kecil dan kaum Ibu yang menemani anak-anak mereka bermain. Jalan ini adalah salah satu rekam jejak terpenting di masa lalu kamu. Terlebih bagi Amri.
Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
* * *
Pagi yang dinodai amukan emosi.
Matahari pagi sering disebut berkah Tuhan untuk memulai hari yang baru. Tapi nyala cahaya pagi itu membakar tungku di dalam diri pemuda-pemuda Kampung Anyar yang berjalan dalam kerumunan.
Awang berjalan di depan, bersisian dengan gue. Chandra, lelaki yang sering disebut payah dalam perkelahian, kini memiliki nyali seliar serigala. Dia berani bertaruh nyawa. Keberaniannya menjadi berlipat-lipat. Dan Amri ada di antaranya. Dia enggak lagi menghiraukan sakit di kaki atau nyeri yang masih berbekas biru.
Parang, kayu, balok, rantai besi hingga ikat pinggang berkepala logam besar ditenteng seperti prajurit membawa alat tempur kebanggaannya.
Jalan aspal yang memisahkan kedua kampung terlihat melintang di hadapan kami. Jika ini adalah jalur Gaza, maka perang siap dikobarkan begitu jalur tersebut didobrak paksa.
Perbatasan dilintasi.
Belasan meter di depan sana, beberapa pemuda Kampung Awi duduk-duduk menggenjreng gitar keras-keras. Di masa krisis ini, pagi sering dipakai orang melepas stress rupanya. Tapi mereka enggak tahu kalau ada ‘tamu tak diundang’ yang sedang berjalan mendekat. Ketika jarak hanya sebatas jengkalan tangan, mereka pun kaget karena enggak siap.
Tiga-empat orang pemuda Kampung Anyar langsung berlari. Mereka mengayunkan kayu seukuran pukulan baseball ke tubuh pemuda-pemuda Kampung Awi. Ini baru permulaan, enggak ada baku hantam berat yang terjadi. Pukulan keras tadi menjatuhkan seorang pemuda usia lima belas tahunan. Kayu lain yang diayunkan melukai pemuda lainnya. Beberapa ditarik paksa, disudutkan di tembok sebuah rumah, dan dipukuli berkali-kali. Satu orang berhasil menyelamatkan diri, dia kabur, mencari perlindungan. Atau bisa jadi memberi tahu teman-temannya untuk menyiapkan pasukan.
“Dia mau manggil temen-temennya. Justru itu yang kita tunggu.” Awang berseru, dia melarang siapapun untuk berlari mengejar anak yang kabur itu.
Dan yang Awang katakan memang benar. Enggak lama setelah itu, sekumpulan pemuda dari Kampung Awi muncul.
Seperti ada suara genderang yang berdentum di telinga gue. Itu bukan suara tabuhan yang dibuat oleh alat musik, melainkan detak jantung gue sendiri. Gue bisa merasakannya. Itu artinya, darah telah dipompa ke seluruh tubuh. Gue sangat siap menghadapi perang di depan mata.
Pemuda-pemuda Kampung Awi semakin dekat. Enggak ada lagi komando. Seperti kesepakatan yang terjadi tiba-tiba, batu-batu langsung berterbangan ke awah lawan. Kerikil, kolar, atau pecahan bata. Mulai dari yang seukuran kepalan tangah atau lebih besar.
Anak-anak Kampung Awi balik membalas. Mereka ikut melempari batu-batu ke arah kami. Satu-dua orang yang bernyali besar, maju ke depan lebih jauh. Setengah berlari, mereka mengumpulkan tolakan pada kepalan tangannya, melempar batu kuat-kuat.
Menit-menit awal yang terjadi seperti itu. Jika kubu Kampung Awi menyerang, kami bersigap membuat pertahanan. Saat mereka melangkah mundur sedikit saja, kami balas menyerang.
Anak-anak yang bermodal kayu kini ambil bagian. Teriakan keras dari mulut mereka memancing emosi lawan. Enggak ada batasan dalam peraturan perang. Kadang, ada yang menyulut kemarahan dengan ejekan. Benturan dari bilah-bilah kayu bergemeletak di antara hujan batu. Pemandangan ini membuat mata gue berusaha lebih awas. Dari sudut pandangan, terlihat Chandra berjalan di tengah-tengah perkelahian. Matanya seperti predator mengincar mangsa. Yang dicari adalah pemuda-pemuda bekas karyawan orang tuanya. Semuanya usia belia, pasti mereka ada di sana. Ini perang antar kampung, siapapun akan berusaha untuk mendukung.
Chandra sudah menemukan orang-orang yang dicari rupanya. Dia mendekatkan diri dengan kepalan tangan penuh. Bogem mentah melayang. “Bangsat!” teriaknya, kalah riuh dari kegaduhan. Orang yang ditinjunya jatuh tersungkur. Kini dia menjejakkan kaki sekuat-kuatnya. Menghujani pemuda tersebut dengan injakan.
Dengan kaki yang sedikit pincang, Amri ditemani seorang pemuda dari Kampung Anyar. Dia tahu, tubuhnya enggak akan sanggup bertahan tanpa senjata. Sebilah kayu digenggamnya di tangan kanan. Langkahnya terlihat hati-hati di antara perkelahian. Pemuda Kampung Awi yang dulu pernah mengejar-ngejarnya di awal masa pacaran dengan Nuri, kini ada di dalam perang yang pecah. Pemuda yang sama itu jugalah yang menyebar fitnah soal pelecehan seksual terhadap Nuri. Amri siap membuat perhitungan. Pemuda tersebut berdiri enggak lebih dari lima meter. Seperti Amri, dia siap dengan sebuah senjata. Linggis berat yang mampu meretakkan tulang tengkorak dalam sekali pukul. Tapi Amri enggak gentar. Sedikitpun.
Gue menjaga pandangan untuk tetap awas. Jika lengah sedikit, bisa saja balok kayu atau sabetan rantai menghantam tubuh gue. Awang yang jaraknya beberapa meter dari gue berteriak memanggil. Ketika tatapan kami bertemu, Awang memberi kode ke satu arah. Gue mengangkat kepala, menuju titik yang ditunjuk Awang. Seorang pemuda berada di tengah kerumunan. Kami tahu siapa dia.
Untuk melumpuhkan kawanan musuh, cara yang paling ampuh adalah dengan melumpuhkan pemimpinnya lebih dulu. Otak yang akan memberi komando pada pasukannya. Jika dia berhasil dikalahkan, pasukannya pasti akan goyang.
Awang menyelipkan sebilah golok di belakang celananya. Dia maju menenteng balok kayu panjang. Pemuda brewok yang jadi pentolan Kampung Awi ikut maju. Ayunan tangan Awang beradu dengan pukulan kayu pemuda tersebut. Mereka terlibat duel. Suarra debum kayu tersamar di antara redam dengusan marah kedua kubu.
“Maju! Maju!” Gue mengambil alih peran Awang. Mengomandoi pasukan dari Kampung Anyar untuk memperkuat serangan.