PARADOKS

Robin Wijaya
Chapter #44

FRAGMEN 3 - BIMA. Chapter 13

Reuni ini sudah selesai dengan kembalinya kami ke rumah Amri. Saat kami akan masuk, Amri sempat berhenti di depan gerbang rumahnya. Entah apa yang dilihatnya. Chandra sudah lebih dulu meluyur ke dalam. Gue berbalik, kembali ke sisi Amri.

“Ada kuntilanak, Bro? Sampai bengong begitu.”

Amri menggeleng.

“Gue kira tadi Nuri.”

Gue terkekeh dengan tawa yang melesak seperti orang bengek. “Masih mikirin dia terus?”

Amri melirik. Seolah-olah enggak suka ditertawai seperti itu. Tapi gue tahu, dia enggak marah. Gue merangkul dan mengajaknya masuk.

“Makanya Bro, cepat-cepat pindah dari sini. Biar bisa move on dari bayang-bayang masa lau,” ledek gue lagi.

“Senggaknya, gue udah beberapa kali ganti cewek. Elu sendiri gimana?” Amri balas bertanya. Ini pertanyaan jebakan, karena gue memang selalu memilih jadi orang yang bebas dan enggak mau terikat. Termasuk hubungan percintaan.

“Cewek kan bukan satu-satunya,” jawab gue, sok diplomatis.

“Ngobrolin apa sih lu berdua? Seru banget.” Chandra sedang berselonjor di sofa ketika kami masuk.

“Biasa. Temen lu ini masih nggak bisa ngelupain Nuri,” jawab gue.

“Gila lu. Udah lima belas tahun, Man.” Lihat, Chandra sepaham dengan gue. Kami tertawa setelah itu.

Lelaki melankolis seperti Amri bukan cuma terjebak dengan masa lalu, tapi juga cinta lalu. Kisah cintanya dengan Nuri dibumbui pertentangan antar kampung. Sayang sekali hasilnya enggak berakhir manis seperti dongeng pengantar tidur. Keduanya menyerah. Baik Nuri maupun Amri. Kematian Danu bukan cuma memukul Amri dan ayahnya, tapi juga Nuri.

Nuri menyadari kalau hubungannya dengan Amri telah menjadi masalah. Dia enggak mau kelak tersulut masalah yang lebih besar lagi. Maka Nuri pun pergi. Dan, status hubungan Amri dengan perempuan-perempuan lain enggak pernah langgeng setelah itu.

“Besok gue mau ketemu temen lu yang pialang properti itu,” kata Amri saat kembali dengan laptopnya.

“Udah move on, Bro?” ledek Chandra. Amri cuma cengar-cengir.

“Kapan kita pindah, Amri?”

Sebuah suara membuat kami bertiga menengok serempak. Sosok lelaki yang usianya sudah lebih dari separuh abad. Wajahnya semakin terlihat sepuh dengan kumis melintang dan warna putih yang berbaur di rambutnya.

Kami terdiam sejenak setelah melihat ayahnya Amri muncul dari kamar. Gue sendiri bertanya-tanya, apakah dia setuju dengan usulan Amri? Karena terakhir kali Amri bilang kalau dia baru berencana untuk mengajak ayahnya pindah. Dua orang lelaki ini perlu dealing lebih dulu sebelum mengambil tindakan.

Lihat selengkapnya