Jakarta, Januari 2013. Seminggu sebelum kematian Bima.
Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa diri orang lain. Besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. Dia kini mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pak Haji dengan kata-katanya―bunuhlah dahulu harimau dalam dirimu....
Gue menutup buku Harimau-Harimau yang baru kembali ke tangan setelah belasan tahun buku ini tinggal di rumah Amri. Sebuah fiksi, karya Mochtar Lubis. Buku ini adalah satu dari sekian banyak buku yang menjadi warisan setelah gue meninggalkan rumah Ibu, dan jadi satu yang paling gue sukai.
Gue bukan penggemar fiksi, tapi cerita dalam Harimau-Harimau membawa pesan yang selalu gue ingat dalam diri. Tentang dosa dan kebohongan yang selalu orang sembunyikan dalam diri mereka. Tentang keinginan untuk selalu dikenal baik. Tentang pecundang yang pada akhirnya menjadi pemenang. Dan tentu, tentang usaha untuk membunuh segala sifat buruk dalam diri sendiri. Seperti analogi yang disampaikan dalam novel lama keluaran tahun 1975 itu. Harimau paling berbahaya dalam hidup sebenarnya adalah harimau dalam diri sendiri. Dan seringnya, kita tidak menyadari hal tersebut.
* * *
Mungkin hari ini akan jadi terakhir kalinya gue datang ke Kampung Anyar. Beberapa minggu lagi Amri akan pindah dari sini. Dia sudah menemukan tempat tinggal baru yang sesuai. Beberapa hari setelah reuni kami waktu itu, dia bertemu dengan pialang properti yang direferensikan Chandra. Sebuah rumah di daerah Jati Bening berhasil membuat Amri ‘jatuh hati’, ayahnya pun langsung setuju begitu melihat bangunan dan lingkungan sekitarnya. Enggak ada kesulitan untuk mengurus segala sesuatunya, dan singkatnya Amri akan merealisasikan keinginannya untuk benar-benar keluar dari bayang-bayang masa lalu.
Sekumpulan pemuda tengah berkumpul di dekat persimpangan. Masih belum berubah ternyata, dulu pun gue sering nongkrong di situ. Percakapan dengan volume suara yang enggak kecil tentu dengan mudah masuk ke telinga gue. Mereka membicarakan sesuatu tentang… dendam? Apa betul yang gue dengar?
Penasaran, gue pura-pura membeli rokok di warung dekat tongkrongan tersebut. Sambil mendengarkan, gue menyulut tembakau, memperpanjang waktu keberadaan di sini.
“Dulu juga kampung kita pernah tawuran sama kampung sebelah,” kata salah satu di antara mereka.
Dan percakapan terus terjadi bersahut-sahutan.