Chandra mengemudikan mobil dengan gelisah. Ia menggerutu berkali-kali karena Amri tak kunjung mengangkat teleponnya. Di dalam kabin mobil, ia mengoceh sendiri. Ingatannya mungkin yang paling kuat di antara Amri dan Bima. Namun ia menyesali ketidak waspadaan dirinya sendiri untuk mengingatkan kedua temannya agar bisa saling menjaga.
“Bro, akhirnya lu angkat juga telepon gue.” Separuh diri Chandra merasa lega, separuh lainnya tetap dihantui kegelisahan karena kabar yang baru saja diterimanya.
“Lu lupa, sekarang tahun berapa? Udah lima belas tahun, Man. Lima belas tahun! Lu nggak lupa kan kalo kesaksian gue, elu dan Bima dulu udah berhasil bikin satu orang anak Kampung Awi masuk penjara. Dan tahun ini dia bebas.”
Amri menyahut dari balik telepon. Namun jawaban-jawaban Amri terus diberondong oleh kekhawatiran Chandra yang menurutnya sangat beralasan.
“Nggak ada saksi. Tapi gue yakin, dugaan gue benar. Gue nggak tahu, mungkin gue perlu balas kelakukan orang yang udah nusuk Bima. Walaupun gue nggak tahu gimana caranya.”
Telepon diakhiri segera, Chandra menekan pedal gas lebih dalam. Ia ingin segera sampai ke Rumah Sakit, walaupun tak tahu apakah sahabatnya itu masih bernyawa.