Paradoks Waktu: Timeline

Marion D'rossi
Chapter #1

PROLOG: Awal Mula

“Berengsek! Kenapa bos sialan itu memecat pegawai rajin dan cerdas sepertiku? Aku yakin dia tidak akan pernah mendapatkan pegawai yang lebih baik dariku!”

Aku menggerutu kesal karena baru saja di-PHK dari kantor tempat aku mengabdi selama dua tahun. Bukan hanya itu, tetapi pacarku beberapa hari yang lalu memutus hubungan kami. Sepertinya dia takut tak dibelikan barang-barang mahal lagi, sebab mengetahui diriku telah dipecat dari pekerjaan.

Aku berjalan dari kamar menuju sofa di ruang tamu yang luasnya tidak seberapa ini, lalu mengempaskan tubuh yang terasa tak berdaya memikirkan segala masalah yang akhir-akhir ini memusingkan kepala. Di ruang tamu ini, hanya ada beberapa sofa dan satu meja. Juga ada rak televisi butut beserta televisi keluaran tahun 90-an yang masih kupergunakan untuk sesekali melihat acara yang sekiranya bisa menghibur diriku kala penat menghampiri. Tiba-tiba, pandanganku berganti menyorot ke sebuah bingkai di atas meja yang bersebelahan dengan tevelisi. Sebuah potret seorang gadis, berderet dengan foto-fotoku yang lain bersama almarhum Ayah.

Aku sudah lama tidak mendengar kabar dari sosok ceria itu. Seorang gadis bermata sipit dengan kedua alis yang lancip di masing-masing ujungnya. Juga yang tak begitu asing bagiku adalah hidung lancipnya yang mungil. Ketika kecil, aku selalu menghabiskan waktu bersamanya. Rasa penasaran mulai makin membesar dan aku tak mampu tidak membuat tubuhku tergerak melihat potret itu lebih dekat lagi. Kuambil dan tatap dengan lamat. Sementara itu, kenangan masa lalu membuatku merasa nostalgia. Serasa ingin kembali ke masa itu, menjadi anak kecil lagi yang tidak pernah memikirkan masalah rumit tentang pekerjaan. Semuanya berlalu begitu cepat. Rasanya diriku baru kemarin sore mengompol di celana. Dan kini, tak menyangka sudah menjadi orang dewasa yang selalu punya masalah silih berganti dalam hari-hari.

Dia di mana, ya, sekarang? Kenapa tiba-tiba aku merindukannya? Jika dipikir-pikir, dia pasti sudah bertambah cantik sekarang. Tumbuh dewasa sepertiku. Tapi ... bagaimana wajahnya yang sekarang? Aku pasti tidak bisa membayangkannya.

Aku mendengkus bosan karena tidak juga bisa mengingat gadis itu dengan jelas, lalu kembali duduk di sofa sembari terus-menerus menatap potret gadis kecil berusia delapan tahun itu.

Lihat selengkapnya