Tahun 2050
Dalam sekejap, pemandangan yang aku lihat berubah total dari semestinya. Yang tadi hanya ada kegelapan, kini aku justru disajikan sebuah pemandangan kota yang sangat padat dan riuh. Berbagai rupa manusia dengan aktivitas bermacam-macam. Pelbagai bangunan tinggi menjulang terpampang di depanku. Kendaraan-kendaraan udara melayang di atas langit. Di beberapa bangunan, terdapat robot-robot, lengkap dengan persenjataan; desain mereka tampak seperti security, robot penjaga, atau apalah sebutannya. Bergerak mondar-mandir di sekitar bangunan yang sedang mereka jaga.
Terpampang sebuah monitor besar di sebuah menara tinggi. Menampilkan program-program berita terkini di kota ini. Tak lama, sorotku beralih ke waktu dan tanggal yang ditunjukkan pada layar besar itu; aku bergeming tak percaya. Aku terbelalak dengan kemustahilan yang terjadi.
1 Januari 2050. Aku pasti sedang mimpi. Mustahil ini nyata!
Faktanya, aku tidak sedang bermimpi setelah membuktikannya dengan cara mencubit pipiku sendiri beberapa kali. Terasa sakit, dan ini merupakan kenyataan. Aku berada di tahun 2050. Tak lama kemudian, kuedarkan bola mata ke sekeliling, menyelidiki keanehan yang tengah kualami.
Memang, jika dilihat dari penampilan orang-orang yang sedang melintas di kawasan ini, sungguh berbeda dari dunia tempat aku berasal. Yang pria tampak sungguh rapi dengan blazer hitam dan jin skinny yang sangat press di tubuh mereka. Begitu juga mengenai potongan rambut. Aku hampir tidak melihat adanya seorang lelaki yang berambut gondrong atau terbilang acak-acakan. Potongan rambut mereka sebagian besar hampir sama: pada sisi kiri dan kanan tipis, lalu di bagian tengah disisakan lebih panjang dan sedikit berdiri. Untuk para wanita, rata-rata mengenakan fashion yang bisa dikatakan cukup minim, menampilkan penampakan beberapa bagian sensitif kewanitaan mereka. Rok yang dikenakan begitu pendek dengan jarak kira-kira sepuluh sentimeter di atas lutut. Untuk atasan, mereka mengenakan kemeja berlengan pendek.
Beberapa saat mengamati, aku berusaha memikirkan kembali penyebab mengapa bisa aku terlempar ke garis waktu ini, tetapi pikiranku sungguh tak dapat menemukannya. Tak satu pun ingatan yang dapat membantuku menjelajahi perihal tersebut. Sungguh seperti beberapa film dan buku yang pernah aku baca. Meskipun tidak terlalu tertarik dengan teori semu dalam novel-novel Fiksi Ilmiah, tetapi kenyataan yang kualami bukanlah semu. Bukan fantasi belaka, juga bukan angan-angan sebagaimana biasa ketika tidur, aku selalu mengigau dengan membayangkan berbagai hal mustahil. Sekali lagi, ini kenyataan!
Tak lama kemudian, aku merasa menabrak seseorang. Begitu saja, kutolehkan pandangan dan melihat seorang perempuan cantik bermata sipit mengenakan gaun cerah yang didominasi warna putih, kini berdiri di hadapanku. Rambut kucirnya yang dihiasi pita berwarna kuning membuatnya makin terlihat imut. Untuk tinggi badan, sekiranya ia mencapai 160 sentimeter. Dagunya lancip, serta hidungnya lurus dan tajam. Jangan tanya bibirnya, sebab aku tak bisa berkata-kata oleh betapa cantiknya perpaduan semua indera tersebut. Lengkap dan sempurna. Tiada kurang satu apa pun.
“M-maaf, aku tidak sengaja.” Perempuan itu berucap sembari membungkuk: menunjukkan rasa bersalahnya dengan wajah yang khawatir.
Hei! Bukankah dia cantik? Sepertinya menarik juga ada di tahun ini. Setidaknya, aku bisa mencari jodoh.
“Yah, tidak apa-apa. Jangan khawatir,” balasku, gagap. Memang benar, aku merasa sedikit gugup. Entah, tetapi ada sebuah perasaan tidak asing yang kini hadir di benakku. Perasaan tak asing itu rasanya sama ketika aku pernah bertemu dengan seseorang, tetapi diriku sama sekali tak bisa mengingatnya dengan jelas.
Sebelum beranjak pergi, perempuan tersebut menatapku lamat-lamat. Ada sesuatu yang janggal dengan tatapannya. Maksudku, itu seperti dia melihat orang yang juga pernah dia lihat. Dan tentu, sama sepertiku yang juga merasakan hal demikian. Setidaknya, itu hanya asumsiku saja. Benar atau tidaknya, entahlah. Setelah berjalan satu langkah, aku berujar dengan sedikit penekanan, “Hei, tunggu!”
Perempuan bermata sipit tersebut berbalik badan. “Ada apa?” Sorot matanya berpaling ke sembarang arah. Aku rasa, dia sedang menghindari tatapanku. Padahal, aku sama sekali tidak menyeramkan. Atau mungkin dia berpikir aku sangat menyeramkan? Bahkan saat itu juga, aku merasa seperti seorang kriminal yang baru saja kabur dari penjara.
“A-aku bisa minta tolong, tidak?” tanyaku, akhirnya memberanikan diri.
“Minta tolong? Memangnya, apa yang bisa aku bantu untukmu?”
“Aku tersesat. Jadi ... boleh tidak aku tanya beberapa hal padamu?” Aku menggaruk kepala yang tidak terasa gatal sama sekali. Bisa dibilang ini merupakan tindakan salah tingkah yang biasa aku lakukan saat berbicara dengan lawan jenis.
“Tersesat?!” Perempuan itu terlihat kaget. Dahinya mengernyit, seolah-olah heran dengan orang tersesat di zaman yang teknologinya sudah serba mutakhir ini.
“I-iya, benar. Kamu bisa membantuku, tidak?”