Paradoks Waktu: Timeline

Marion D'rossi
Chapter #3

Bertemu Gadis di Tahun 2050 [2]

Dengan begitu cepat, air mukanya berubah, tersenyum tipis. “T-tidak. Aku tidak apa-apa. Oh, ya. Soal masalah yang kamu hadapi, aku pernah membaca sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 2038. Di artikel itu ditulis: ada seorang lelaki dari masa lalu yang menjelajah menuju masa depan, yaitu ke tahun 2038,” jelas Andini.

“Benarkah? Aku makin penasaran. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa kamu tahu tentang masalah yang kualami ini? Maksudku, aku sendiri tidak percaya kalau aku sedang berada di tahun 2050. Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Ini sangat tidak masuk akal.”

“Aku tidak tahu banyak soal itu. Aku hanya pernah membaca artikel-artikel yang berkaitan dengan teori waktu di internet seperti masalah yang kamu hadapi ini. Mungkin saja kamu secara tidak sadar masuk ke gerbang waktu dan terlempar ke sini. Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Apa yang kita katakan mustahil, belum tentu bagi alam semesta.”

“Ah? Gerbang waktu? Aku sama sekali tidak mengerti dengan hal-hal semacam itu. Bisakah kamu membantuku? Ayolah, bantu aku!” pintaku, penuh harap sembari menyatukan kedua tangan; memohon.

“Baiklah. Aku akan menjelaskannya sedikit padamu. Aku pernah mendengar rumor: pernah ada seseorang yang datang dari masa lalu di kota ini. Awalnya aku memang tidak percaya hal itu benar-benar ada. Namun, ternyata itu dibuktikan setelah melihat kartu identitas orang itu. Setelahnya, aku mulai mencari semua informasi tentang perjalanan waktu. Aku tertarik untuk memecahkan masalah itu. Dan sebenarnya aku merasa tidak asing dengan wajahmu.

“Dari awal aku sudah menduga. Maksudku, dilihat dari mana pun, dengan penampilanmu ini, orang-orang akan mengira kalau kamu ini sangat jadul. Sedangkan, di tahun ini, orang-orang sudah meninggalkan gaya berpakaian sepertimu yang hanya mengenakan kaus biasa dan celana jin yang dilipat karena kepanjangan.”

“Itu berarti, orang-orang di tahun ini sudah hidup dalam kesejahteraan? Dalam kata lain, orang-orang sudah menjadi kaya, sama sekali tidak ada orang miskin?”

“Bukan. Kalau bicara soal itu, pasti ada saja orang miskin. Namun, bahkan gelandangan di tahun ini sudah menggunakan dompet digital untuk menerima uang receh dari orang-orang. Mereka rata-rata punya gadget. Gaya berpakaian mereka pun tidak seperti yang ada di bayanganmu sekarang. Atau kita sebut saja masa lalu. Di tahun 2018, pasti banyak orang yang belum mengenal teknologi. Juga, orang-orang banyak yang hidup dalam kemelaratan.”

Jelas sudah bahwa hal ini bukan sebuah kemustahilan. Aku berada di tahun 2050 dengan penyebab yang masih menjadi misteri. Aku hanya ingat: malam itu aku tidur dengan lelap. Pandangan gelapku berubah seketika menjadi pemandangan kota modern ini. Dan yang aku rasakan, dalam bayanganku sendiri, aku tersedot ke sebuah lorong hitam yang gelap. Saat itu bahkan aku sudah mencoba untuk bangun, tetapi tubuhku rasanya begitu berat. Hingga akhirnya, aku membuka mata dan melihat kota modern ini.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyaku, pelan. Aku menatap jauh. Ingatanku seolah-olah timbul-tenggelam.

“Aku pernah mencari orang itu, tapi tidak pernah kutemukan. Semua video dan bukti foto keberadaannya terhapus dari segala media. Dalam arti, sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa membuktikan keberadaan orang yang datang dari masa lalu itu. Yang ada hanya penjelasan teks, tapi bukti kuatnya justru sudah tidak ada lagi,” tutur Andini.

“Begitu, ya. Kalau begitu, bagaimana caranya aku bisa kembali ke tahun asalku? Apa tidak ada mesin waktu atau apalah di tahun 2050 ini yang bisa kugunakan? Mungkin saja ‘kan, ada jasa untuk kembali ke masa lalu dengan mesin semacam itu?”

“Mesin waktu? Jangan mengkhayal! Itu tidak bisa dibuat manusia.” Lantas Andini terkekeh pelan sambil membekap mulutnya. “Oh, ya. Kalau kamu mau kembali, aku rasa kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Di artikel yang pernah kubaca tertulis: seorang pejalan waktu punya batas waktu tertentu untuk tinggal di suatu dunia yang bukan dunianya.”

“Eh? Padahal aku sering mendengar berita di tahun asalku kalau mesin waktu sedang dibuat. Di tahun 2050 juga belum ada? Lalu, apa gunanya penelitian para ilmuwan itu? Aku pikir teknologi benar-benar sudah maju beberapa tingkat. Ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.” Kusedekapkan tangan sambil terus berpikir. “Tapi, kalau mesin waktu itu tidak ada, bukankah seharusnya mustahil aku bisa ada di tahun 2050 ini? Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang tidak menggunakan mesin waktu datang ke masa depan ini. Tapi, pasti ada jalan untuk kembali tanpa menunggu batas tertentu itu.”

“Menurutku bukan hal yang mustahil jika seseorang bisa terlempar dari masa lalu ke masa depan atau dari masa depan ke masa lalu. Menurut artikel yang pernah kubaca, manusia itu bisa menjelajahi waktu bahkan tanpa bantuan mesin apa pun.” Andini beranjak bangkit, mengembalikan benda yang ia sebut dengan gadget v3 ke dalam tote bag-nya. “Baiklah. Sepertinya penjelasanku sudah cukup membuatmu mengerti. Aku ada urusan lain yang harus diselesaikan. Aku pergi, ya.”

Apa? Dia sudah mau pergi saja? Tidak akan kubiarkan.

Baru berjalan selangkah, kugapai tangan Andini. Kedua mata kami saling bertemu dan bersitatap cukup lama. Hal ini aku lakukan karena tidak mungkin aku menggelandang di tahun yang sudah serba modern ini. Lagi pula, hanya dia orang yang bisa kumintai pertolongan. Dan dia pun sudah terlanjur membantuku dari awal. Selain Andini, mungkin tidak akan ada orang yang bersedia membantu dengan tulus. Orang-orang asing di tahun ini pun di penglihatanku seperti ikan mati yang kehilangan arah. Aku tidak mengenal mereka sama sekali.

Lihat selengkapnya