Paradoks Waktu: Timeline

Marion D'rossi
Chapter #4

Bertemu Gadis di Tahun 2050 [3]

Ketika memasuki rumah Andini yang terletak tak jauh dari taman tempat kami berbincang itu, hal pertama yang membuatku kagum adalah bagaimana pintu terbuka, bukan alarm yang dibunyikan untuk mencari letak rumah tersebut. Pintu rumah Andini dilengkapi dengan fitur face-unlock. Ketika wajah pemilik rumah dideteksi oleh pemindai atau kamera di depan pintu, maka pintu otomatis akan terbuka dengan sendirinya, lalu sebuah speaker pada pintu mengucapkan kalimat “selamat datang kembali, Nyonya”.

Sebuah rumah dengan arsitektur elegan di kompleks perumahan. Tentu saja elegan karena ini tahun 2050. Dinding-dinding rumah Andini dilapisi logam yang bertujuan untuk memperkuat bangunan. Bukankah itu akan terasa panas saat di siang hari? Tentu, seseorang yang menciptakan inovasi ini telah mempertimbangkan segala kemungkinan itu. Oleh karenanya, rumah ini dilengkapi dengan teknologi bernama Hilon Insulation yang dapat menyerap panas. Hilon Insulation merupakan lapisan terluar dari dinding logam beserta atap rumah agar panas tidak memengaruhi suhu ruangan.

Meski begitu, aku tidak menyangka tahun 2050 tidak semodern yang kubayangkan. Tidak banyak perbedaan dengan tahun 2018. Yang membedakan hanya bangunan-bangunan pencakar langit yang sangat minim ada di tahun 2018 dan tentu saja mungkin ada beberapa sistem yang belum kuketahui. Untuk urusan teknologi pun tidak secanggih yang kubayangkan. Meski ada beberapa instansi menggunakan robot sebagai penjaga dan pembantu mereka, di tahun 2018 hal tersebut juga dapat ditemukan. Hanya saja mungkin di tahun ini sudah jauh lebih berkembang dengan kecerdasan buatan yang sudah mendekati kata sempurna. Teknologi berkembang pesat dan mungkin sebentar lagi manusia tidak akan dibutuhkan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan ringan dan tepetitif. Ah, tapi dalam pandanganku sendiri, aku tidak yakin benda-benda seperti robot dan kecerdasan buatan itu dapat menggantikan manusia. Sebab, sebagaimana sejarah penciptaan mereka, bahwa benda-benda tersebut dibuat oleh manusia yang hanya bertujuan untuk membantu dan mempermudah. Ada berbagai kelemahan dalam kecerdasan buatan itu yang tentu saja bisa diambil kesimpulan bahwa, pekerjaan yang dilakukan oleh manusia jauh lebih efektif.

Aku tertegun menatap sekeliling ruangan rumah Andini yang tampak begitu luas dan sejuk. Mungkin karena seluruh ruangan didominasi warna putih terang sehingga memberikan kesan sejuk dan tidak membosankan. Di dinding sebelah barat, menempel sebuah benda kecil berwarna putih, juga berguna untuk menyejukkan ruangan ini. Sepertinya benda itu merupakan AC, yang di tahun 2018 bentuknya lumayan besar dan makan tempat. Benda kecil itu bisa memancarkan cahaya berwarna-warni. Kurasa, itu sebuah cara untuk tidak memberikan kesan monoton juga. Aku jadi penasaran berapa harga benda-benda dengan teknologi tingkat tinggi seperti itu. Sebetulnya cukup rumit memikirkan mengapa bentuk AC bisa jadi sangat kecil. Jika seperti itu, maka seharusnya suhu temperaturnya tidak akan terasa sama sekali, bukan? Namun, seperti itulah adanya. Yang kumaksud bukan AC Portable yang bisa dibawa ke mana-mana. Itu benar-benar AC yang menempel di dinding.

“AC! Turunkan suhu!” Andini memerintahkan benda bernama AC yang terpasang di dinding ruangan. Beberapa saat kemudian, suhu di ruangan lebih dingin dari sebelumnya. Wow! Aku terpukau dengan teknologi ini. Kita hanya harus memberikan perintah dan benda ini akan melakukannya.

Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan. Pada kenyataannya, benda itu tidak begitu canggih. Yah, kurasa aku hanya sedang stress saja. Itulah kenapa aku langsung terpukau dengan mata membulat.

“Kamu kenapa?” Andini bertanya, mungkin karena melihatku masih terpukau akan teknologi mutakhir ini.

“Hebat!” Aku bergumam seraya menggeleng-geleng. Beberapa lama, aku terus-menerus kagum dengan teknologi canggih yang benar-benar tidak dapat kubayangkan bisa diciptakan manusia. Tentu, bukan hanya AC itu saja. Namun, beberapa benda di ruangan ini yang terlihat unik dan memukau.

“Hebat? Apa yang hebat?” Andini menampilkan mimik heran.

“Benda itu nurut sekali kepada pemiliknya. Jadi, teknologi seperti itu benar-benar ada?”

“Seperti yang kamu lihat. Teknologi itu sudah ada sejak lama. Maksudku bukan inovasi baru di tahun 2050, loh. Bukan hanya AC, tetapi segala macam benda seperti; kompor, kulkas, lampu, dan lainnya juga bisa diperintah. Kamu bisa menyebutnya dengan smart-house.” Andini duduk di sebelahku. “Oh, ya. Apa kamu mau minum sesuatu? Akan kubuatkan. Atau kamu mau kopi? Aku lumayan ahli membuat kopi.”

“Hmm.” Kuanggukkan kepalaku tanda setuju. “Boleh, deh. Semoga saja rasanya enak.” Lalu tersenyum seolah-olah puas.

“Kalau begitu, tunggu sebentar, ya! Aku akan ke dapur untuk membuatkanmu kopi.” Perempuan bermata sipit itu kemudian menjejakkan langkah menuju dapur yang terletak di sebelah ruang tamu tempat aku berada. Dapur dan ruang tamu dibatasi dengan kaca film dengan ketebalan kira-kira dua sentimeter. Karena terbuat dari kaca film, maka aku tidak bisa melihat Andini di dapur, tetapi malah sebaliknya, Andini yang dapat melihatku dari sana. Tentu, aku tidak mungkin melakukan hal aneh selagi Andini berada di dapur. Terlebih lagi, dia bisa melihatku dari sana. Ah, ini bukan berarti aku juga mau melakukan hal-hal aneh.

Karena masih begitu tertarik dengan beberapa benda di ruang tamu tersebut, kulanjutkan aktivitasku, yaitu mengelilingi ruangan. Tentu saja, ini kulakukan karena aku masih takjub dengan benda-benda yang ada di ruangan ini. Pada sebuah meja di ruang tamu, terdapat penampakan foto tiga orang. Salah satu yang ada di foto tersebut mungkin Andini sewaktu berusia 10 tahun. Dan dua lainnya sepasang suami-istri yang berumur antara 40 tahun sampai dengan 50 tahun. Aku takjub, tetapi bukan karena wajah-wajah di dalam foto ini. Melainkan karena foto berbentuk hologram yang terlihat seperti nyata.

“Kamu lihat apa?” Andini tiba-tiba membuyarkan imajinasiku saat melihat foto berbentuk hologram tersebut.

“Eh? Tidak. Aku ini ... heran aja. Kok, bisa seperti ini, ya?” tanyaku, sembari menunjuk hologram tersebut.

“Oh.” Andini meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja. “Itu namanya picture holograms. Jadi, jika kamu meletakkan sebuah foto pada bingkai di bawah itu, fotonya akan keluar dan berbentuk hologram,” jelas Andini.

“Wow ....” Aku terkagum-kagum untuk ke sekian kalinya.

Setelah kupikir-pikir, aku tidak begitu mengerti mengapa foto bisa langsung saja muncul ketika diletakkan di bawah bingkai. Padahal, aku begitu ingin menjelaskannya secara masuk akal. Ah, tapi dari yang kulihat, aku bisa menyimpulkan bahwa bingkai itu memiliki semacam mesin pemindai yang bisa mengambil data dari foto yang kita letakkan di bawahnya. Kemudian, pemindai itu akan menduplikat foto tersebut untuk dia kirimkan ke proyeksinya. Baiklah, kurasa itu penjelasan yang cukup mudah dimengerti dan masuk akal.

“Ayo, minum kopimu dulu dan kita bicarakan masalahmu ini agar cepat selesai.” Andini segera duduk di sofa. Aku pun mengikuti.

“Aku cobain, ya,” kataku, sembari mengangkat cangkir. Kutiup kepulan asap aroma kopi yang sepertinya nikmat tersebut. Kusesap sedikit. “Enak!” Kemudian kuseruput lagi sampai tiga kali dan kuletakkan kembali.

“Bagaimana?” Andini terlihat menunggu komentarku. Aku merasa seperti seorang pencicip yang biasa didatangkan di acara-acara masak atau lomba-lomba sejenisnya.

“Nikmat! Hebat juga kamu bikin kopi.” Aku tersenyum puas kemudian.

“Terima kasih. Syukurlah.” Senyum Andini merekah. “Jadi, mengenai masalahmu yang terlempar ke masa depan ini. Apakah tidak ada tanda-tanda yang bisa menjadi petunjuk untuk menyelidiki keanehan yang kamu alami ini?”

Lihat selengkapnya