Paradoks Waktu: Timeline

Marion D'rossi
Chapter #5

Kebersamaan di Tahun 2050 [1]

Hari yang baru telah dimulai. Hari ini merupakan hari kedua aku berada di tahun 2050. Juga hari kedua aku melihat senyuman merekah yang dengan hangat menyambutku bangun tidur. Andini. Perempuan cantik bermata sipit itu sedang ada di hadapanku ketika aku perlahan-lahan membuka mata. Awalnya, aku pikir dengan tidur bisa membuatku kembali ke tahun asalku. Sayangnya, harapan itu tanggal dengan mudah ketika aku melihat Andini, terlebih lagi menciumi wangi tubuhnya yang semerbak dipenuhi aroma melati yang begitu kusuka. Membuat diriku langsung ingin berfantasi bahkan setelah baru saja bangun tidur. Bukan berarti aku berharap untuk cepat-cepat kembali. Sebab, aku merasa sudah punya tempat untuk kembali. Karena itu, kepulangan adalah perihal yang kemungkinan besar sangat tidak aku harapkan saat ini. Lagi pula, sejauh ingatan yang bisa aku gali, aku adalah orang yang tidak punya cukup banyak teman. Jadi, bersama dengan Andini sudah cukup membuatku merasa tak kesepian.

“Oh, kamu sudah bangun,” kata Andini seraya menatapku dengan senyuman indah. Dia tampak membungkuk dengan kepala yang berada di atas wajahku. Kami hanya dipisahkan oleh jarak yang tak cukup renggang. Sehingga itu, bahkan napasnya pun dapat kuciumi, menelusup dengan cepat ke dalam lubang pernapasanku. Sungguh-sungguh kenyataan yang indah dan memabukkan. Jika ini sebuah kenyataan yang mutlak, maka aku tidak ingin cepat-cepat kembali ke tahun asalku. Namun, lagi-lagi itu tidak mungkin terjadi. Sebab, bagaimanapun juga, semua ini masih kuanggap sebagai kenyataan semu yang hanya menjadi pengecoh dalam benakku untuk menemukan jati diriku.

Tak lupa diriku dengan begitu banyak pertanyaan yang harus segera terjawab. Juga, tentu tujuanku sudah jelas bahwa aku mungkin sedang diminta Tuhan untuk berkelana di masa ini dan menemukan diriku atau ada hal lain yang jauh lebih rumit dan penting dari itu. Yang jelas, aku mungkin hanya punya satu pilihan: menikmati petualangan ini, baik dalam keadaan suka dan duka.

Aku mengusap-usap kelopak mata, lalu beranjak bangkit dari sofa. Mulai duduk. Menguap untuk mengawali aktivitas pagi ini.

“Jam berapa, An?” tanyaku sambil merapikan rambut yang berantakan.

“Jam tujuh.” Andini menjawab singkat sambil duduk di sofa yang lainnya.

“Jam tujuh?! Sepertinya, ini pertama kalinya aku bangun jam tujuh pagi,” pungkasku dengan sedikit kebanggaan.

“Pertama kali? Memang biasanya kamu bangun jam berapa?”

“Mungkin jam delapan paling cepat. Itu pun mungkin. Intinya, ingatanku masih samar-samar.”

Lihat selengkapnya