Sesosok perempuan berambut sebahu, kini ada di hadapanku. Aku, Andini, dan perempuan bernama Rizka, berkumpul di sebuah meja makan berwarna cokelat, dilapisi taplak merah marun. Sedari beberapa menit yang lalu, aku tak henti-hentinya menatap gadis tersebut. Jauh dari perkiraanku. Kupikir dia akan terlihat seperti lelaki. Paling tidak, berkelakuan bar-bar karena dia seorang peretas sebagaimana yang dikatakan Andini. Atau setidaknya berpenampilan seperti lelaki.
Sebetulnya, aku agak kurang percaya perempuan seperti Rizka itu pintar dalam hal peretasan. Bagaimana tidak? Wajahnya yang cukup lucu dan penampilannya yang feminim tersebut, sudah cukup bisa dikatakan lebih pantas menjadi model atau tokoh dalam cerita drama. Ya, tubuhnya begitu mungil, terbalut gaun one piece kuning cerah. Bibirnya tipis dan tampak merah muda. Terlebih lagi, lihat saja hidungnya yang terlihat lancip seperti peranakan orang Eropa itu. Siapa pun yang melihat gadis tersebut, tidak akan menyangka dia seorang peretas. Bahkan Andini mengaku dia sangat ahli dalam hal tersebut. Aku sungguh tak bisa berkata-kata.
Seraya menyaksikan gerakan tangan Andini yang sedang menata berbagai sajian lezat di atas meja sebagai sarapan kami pagi ini, aku membuka topik obrolan. “Jadi, inikah temanmu yang bernama Rizka itu, An?”
“Kenapa tidak tanya pada orangnya? Dia ‘kan, ada di depan kamu.” Andini tersenyum miring, lalu mendengkus.
Kutolehkan pandangan pada perempuan yang terbalut gaun one piece kuning di hadapanku. “Kamu yang bernama Rizka?”
“Iya. Dan kamukah yang bernama Andi?”
“Iya. Aku masih tidak percaya kalau kamu ini hacker,” ucapku sembari menatap dengan saksama perempuan tersebut.
Bukannya bereaksi seperti Andini, atau tersipu malu, tetapi Rizka justru balik menatapku, serius. “Memang apa alasan kamu tidak percaya kalau aku hebat di bidang teknologi komputer?” Rizka mengerutkan keningnya. Biar kutebak: dia mungkin kesal dengan pertanyaanku yang terdengar seolah meremehkan. Padahal, aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja, sulit dipercaya. Sebab, kebanyakan dari mereka yang mempelajari ilmu komputer, terutama bidang peretasan atau jaringan itu adalah laki-laki. Setahuku seperti itu. Jika ditanya data yang otentik, tentu saja aku tidak punya hal semacam itu.
“Soalnya kamu lebih cocok jadi model, sih,” balasku, lalu tertawa pelan.
“Memangnya kamu siapa? Sutradara, yang sedang mencari seorang model untuk acara film? Maaf saja, aku tidak bisa terpengaruh dengan godaan seperti itu!” tandas Rizka dengan nada yang terkesan dingin.
“Benarkah? Aku yakin di dalam hati, kamu sangat bersyukur dipuji olehku,” godaku lagi, tak mau kalah. Tentu saja karena aku orang yang pantang menyerah. Dalam hal apa pun, aku tidak ingin dikalahkan. Bukan bermaksud menjadi orang angkuh, tetapi kekalahan itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
“Andini. Ternyata dia nyebelin juga, ya? Bolehkah aku memecahkan satu piring di kepala temanmu ini?” Rizka berkata dengan sewot.
“Eh, jangan, Ka! Piring aku lebih berharga dari kepalanya!” ujar Andini seraya tersenyum puas. Andini dan Rizka terkekeh. Gelak tawa keduanya memenuhi ruang makan.
Sebelumnya, aku tidak pernah merasakan suasana harmonis seperti saat ini. Aku seorang lelaki penyendiri yang kekurangan teman. Lebih senang mengurung diri di kamar. Katakan saja aku penyendiri yang menyedihkan dan begitu buruk dalam berkomunikasi dengan orang-orang. Lagi pula, menyendiri itu tidak selamanya menyedihkan. Selagi kamu bisa menikmatinya, itu adalah surga yang sesungguhnya. Memang, aku pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Namun, ternyata dia hanya memanfaatkanku. Setelah tahu bahwa aku sudah tidak bekerja lagi, dia pun memutuskan hubungan kami. Setidaknya, beberapa ingatan masih ada di kepalaku. Bahkan ingatan tentang hubunganku dengan perempuan tersebut yang sebenarnya ingin sekali aku kubur dalam-dalam. Sebab, itu adalah masa lalu yang menyedihkan. Ditambah lagi, aku dicampakkan sedemikian hebat hingga malu pada orang-orang sekitar yang berlalu-lalang. Kurasa, gadis itu memang tidak punya belas kasihan.