Paradoks Waktu: Timeline

Marion D'rossi
Chapter #8

Kebersamaan di Tahun 2050 [4]

Beberapa jam berlalu. Badanku rasanya pegal sekali karena menanti Rizka yang belum kunjung berhasil masuk ke jaringan pemerintah. Sementara itu, Andini sedari tadi selalu diam dengan tatapan yang menurutku cukup aneh. Aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan, atau masalah apa yang sedang dia alami. Yang pasti, aku sangat yakin raut wajah yang diperlihatkan Andini seolah-olah dia sedang berpikir keras akan sesuatu hal yang cukup rumit. Tatapan yang sama ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Dia terlihat seperti orang yang kehilangan ingatan dan berusaha mengingat apa pun yang dulu pernah ada di dalam ingatannya.

“Sekarang aku akan mulai masuk ke server pemerintahan kota. Oh, ya. Nama lengkap kamu siapa, Andi?” tanya Rizka, tatapannya mulai serius.

“Oh, nama lengkapku Andi Wijaya Prasetyo.”

“Baiklah, pencarian dimulai! Teknik terakhir, yaitu teknik inject database. Teknik ini akan menampilkan semua basis data yang ada di dalam server penyimpanan pemerintah. Jika tidak ada kendala yang berarti, prosesnya akan berlangsung cepat.” Rizka menyeringai jahat, jemarinya mulai menari di atas keyboard laptop.

Tidak bisa kubayangkan, Rizka yang merupakan perempuan feminim ternyata akan terlihat berbeda sekali ketika sedang di hadapan benda bernama laptop tersebut. Seringai di wajahnya pun seolah berkata jika sudah di depan laptop, dia bukan Rizka yang terlihat lugu dan polos. Dia seperti memiliki dua kepribadian. Satu feminim atau lugu dan satu agresif. Tapi, cukup cocok dengan sikapnya yang selalu judes ketika aku asyik menggodanya.

Beberapa menit kemudian, Rizka berhasil menemukan alamat rumah Andi tahun 2050. “Sepertinya kamu tinggal di sebuah desa. Dan yang lebih mengejutkan lagi, desa itu sudah lama ditinggalkan.” Rizka mengungkapkan. Kerutan di dahinya bertambah. Sudut kanan bibirnya mengangkat. Dia tampak sedang berpikir.

“Desa yang sudah lama ditinggalkan? Maksud kamu?” tanyaku, karena masih bingung. Lagi pula, aku tidak pernah menyangka masih ada desa di kota modern seperti ini. Tepatnya, setelah melihat bangunan-bangunan pencakar langit di kota, aku sempat berpikir, apakah masih ada sebuah desa yang tenteram dan memberikan kesejukan untuk setidaknya tempat orang-orang berkunjung setelah melewati hari-hari yang penat?

“Begini. Desa yang ditinggalkan adalah sebuah desa yang ditinggali oleh orang-orang yang menolak pembangunan di zaman modern ini. Mereka lebih memilih tetap tinggal di desa untuk bercocok tanam. Faktanya, di tahun 2030, semua desa di pulau ini sudah diubah menjadi gedung-gedung pencakar langit, kecuali desa yang ditinggalkan itu. Kita menyebutnya dengan Desa Tebilin.

“Sempat terjadi kerusuhan pada tahun itu. Namun, pada akhirnya pemerintah menyerah dan membiarkan salah satu desa tidak jadi dibangun gedung-gedung pencakar langit dengan syarat: mereka harus bekerja sama dengan pemerintah untuk menghasilkan bahan pangan,” jelas Andini.

“Kalau begitu, aku orang yang termasuk menolak pembangunan itu? Kenapa bisa begitu? Aku sendiri jika disuruh memilih, aku lebih baik tinggal di kota daripada di desa. Yah, bagiku tinggal di desa itu sangat susah. Tidak seperti di kota, kita bisa mendapatkan apa pun yang kita mau. Membeli apa pun tidak perlu berjalan ratusan meter atau puluhan kilometer. Semua ada di kota.”

Lihat selengkapnya