“Benar. Inilah yang disebut takdir. Apa yang kita bicarakan sekarang. Apa yang kita lakukan sekarang. Gerakan apa pun yang kita lakukan sekarang. Semuanya adalah takdir yang sudah diatur oleh alam. Kita tidak bisa mengubah takdir,” jelas Wijaya, menyampaikan pendapatnya. Masih mengelus janggutnya perlahan-lahan.
“Kalau begitu, langsung saja. Saya ingin bertanya—”
“Bagaimana cara untuk kembali ke tahun asalmu?” potongnya, lugas.
Oke. Itu membuatku cukup terkesan. Dia seperti bisa melihat masa depanku. Tentu saja. Kembali lagi ke teori awal: dia adalah aku di masa depan dan aku adalah dia di masa lalu. Dia tahu apa pun yang aku pikirkan. Dia tahu apa yang aku lakukan. Bahkan dalam beberapa puluh tahun ke depan, dia juga masih akan mengetahui apa saja yang akan aku lewati di kehidupan ini.
“Hmm. Benar. Bagaimana caranya?” tanyaku lagi, mengerutkan kening.
“Kamu tidak perlu melakukan apa-apa untuk dapat kembali ke tahun asalmu. Bukankah gadis itu pernah mengatakannya padamu? Ini teori mendasar dari seseorang yang melakukan perjalanan waktu. Tapi, jika kamu ingin tahu tentang segala sesuatu yang membingungkan ini, maka kamu harus membangkitkan kekuatan supernatural di dalam dirimu.”
“Apa? Kekuatan supernatural? Jangan bercanda! Hal semacam itu ... apakah benar-benar ada? Memangnya kita sedang ada di dalam film-film, apa? Meskipun kedatangan saya di tahun ini adalah sesuatu yang mustahil, setidaknya Anda berikan saya penjelasan yang jauh lebih masuk akal.” Aku membelalak dan bernada tinggi seketika.
Aku benar-benar tidak dapat memercayai sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan mistis seperti yang disebutkan olehnya. Aku pikir bisa kembali ke tahun asalku dengan sebuah mesin. Lagi pula, siapa yang akan percaya manusia lemah sepertiku punya kekuatan mistis yang bisa pergi ke masa lalu dan masa depan?
“Apa kamu pikir akan kembali dengan mesin waktu dan semacamnya? Tidak segampang itu. Mesin waktu itu tidak bisa diciptakan, Nak.”
“Tidak bisa diciptakan? Kenapa? Jika mesin waktu saja tidak bisa diciptakan, lalu mengapa memiliki kekuatan supernatural yang bahkan tidak mungkin dipercayai adanya saja Anda katakan dengan mudah?”
“Andi. Tenang. Kamu tidak boleh emosi seperti itu,” ucap Andini, setengah berbisik. Ia seolah cemas melihatku tak dapat mengendalikan diri dan kata-kataku.
Aku memang tak sungkan untuk marah pada diriku sendiri. Tak seperti aku bertemu dengan orang lain. Aku pasti akan memperhitungkan akan marah atau tidak, akan tersinggung atau tidak. Karena dia adalah diriku, maka rasa sungkan itu seolah-olah tidak pernah ada untuknya.
“M-maaf,” kataku, lirih. Jika bukan karena Andini, aku pasti tak akan sudi meminta maaf.
“Kalau begitu, kamu tidak akan pernah tahu segalanya. Maaf saja, tapi sayalah yang paling tahu daripada kamu, Nak. Saya adalah kamu. Dan kamu adalah saya. Seperti yang kamu katakan, saya pernah mengalami hal serupa. Saya pernah tidak percaya. Saya pernah membentak diri saya yang lain. Saya pernah menolak untuk memercayai sesuatu semacam kekuatan supernatural,” jelas Wijaya sambil menatapku dengan begitu serius.