Aku tergeletak di tanah dengan tubuh menggelinding beberapa detik. Tentu, aku berusaha bertahan, lalu segera bangkit sambil memegangi beberapa bagian tubuhku yang merasa pegal. Lenganku merasa terkilir, begitu juga dengan kaki kananku. Sepertinya benturan keras tersebut yang menyebabkannya. Di depanku sudah ada Andini dengan raut wajah khawatir.
“Andi? Kamu tidak apa-apa, kan?”
“Aku baik-baik saja, kok. Tidak apa-apa,” jawabku sembari membersihkan debu yang menempel dia pakaianku.
“Syukurlah.” Andini terlihat lega, lalu tersenyum. “Jadi, apa yang terjadi sama kamu?”
“Aku—“
“Andi sudah mengingat kenapa dia bisa ada di masa depan ini.” Wijaya menyela. Ia datang dari balik pohon-pohon bambu di sebelah timur.
Cukup menyebalkan bahwa Wijaya mengetahui segalanya. Namun, wajar saja sebab dia adalah diriku. Walau demikian, seharusnya dia tidak berkata seolah-olah menggantikan diriku. Bagaimanapun juga, kami punya peran yang berbeda di waktu yang berbeda pula.
“Benarkah, Andi?” Andini tersenyum, seolah ada makna tersembunyi di balik senyumannya yang lebar dan hangat itu.
“Iya, benar.”
“Kalau begitu, nanti kamu ceritakan padaku, ya.”
“Oke. Akan aku ceritakan nanti.”
“Kalau begitu, sekarang kamu harus sarapan dulu. Ini, aku bawakan sarapan buat kamu dan Wijaya.” Andini mengangkat tangannya. Dia memegangi kotak makanan yang terbungkus sebuah kertas plastik putih.
“Astaga. Seharusnya kamu tidak melakukan ini. Kamu datang ke sini hanya untuk membawakan aku sarapan? Jarak desa ini ‘kan, sangat jauh. Jadi, kupikir besok-besok kamu tidak perlu melakukan ini semua—“
“Tidak apa-apa, kok. Ini sudah jadi kewajiban aku! Kupikir, aku harus terus membantu dan mendukungmu, Andi. Dan itu semua agar kamu bisa cepat kembali ke tahun asalmu.”
Oh, wow! Aku baru tahu kalau membawakan aku sarapan adalah kewajiban gadis ini. Apakah dia merasa sudah jadi istriku atau semacamnya? Hmm.