Paradoks Waktu: Timeline

Marion D'rossi
Chapter #18

Pertarungan Para Pengendali Waktu [3]

Seperti yang Jaya inginkan, aku mengambil pisau mengilap yang dilemparkannya. Mengaktifkan teleportasi, aku memulainya dengan memusatkan pikiran. Energi-energi alam terserap dan mengalir ke seluruh tubuhku. Menghasilkan cahaya hijau dan kuning, berputar di sekeliling goa. Waktu pun bergerak sepuluh detik lebih lambat dari semestinya, tetapi aku mampu bergerak normal seperti biasanya. Gerakan kakiku yang berlari, menerbangkan debu-debu. Namun, ketika aku mulai mengayunkan pisau, Jaya mengaktifkan kekuatannya dan bergerak tiga kali lebih cepat dariku. Ia mampu menghindar, lalu menebas punggungku, membuat goresan vertikal yang cukup panjang dan menyakitkan. Aku memekik kesakitan. Melangkah mundur sembari menjaga jarak. Bagaimanapun juga, aku tidak boleh lengah.

“Ada apa? Mengapa kauberhenti?” Jaya menampilkan sebuah senyuman simpul karena telah berhasil melukaiku. “Kenapa? Apa kaukesal karena tidak bisa menyentuhku sedikit pun?” Ia menyeringai lagi dan tertawa meremehkan.

“Kali ini aku benar-benar akan membunuhmu!”

Sekali lagi, aku mengaktifkan teleportasi, melakukan hal seperti sebelumya. Aku fokus pada satu titik ke bagian punggung Jaya. Begitu tiba, Jaya kembali melakukan teleportasi seperti saat sebelumnya, tetapi kali ini aku tahu ke mana dia akan muncul kembali. Tepat di belakangku, sebab area punggung paling mudah diincar. Aku mengarahkan bagian lancip pisau ke belakang untuk segera menancapkannya ke tubuh Jaya. Namun, sayangnya gerakanku tidak cukup cepat untuk melakukan hal itu sehingga Jaya berhasil meraih kepalaku dengan tangan kanannya, menjambak rambutku, serta membenturkan kepalaku ke tanah.

“Kau pikir aku tidak bisa membaca gerakanmu, Bodoh! Yah, menurutku strategimu bagus juga, tapi sayangnya kau masih harus banyak berlatih untuk menyaingi kecepatan gerakanku.” Jaya lantas menendang-nendang perutku hingga membuatku memuntahkan cairan kental berwarna merah. Sementara itu, napasku tersengal-sengal. Juga keringat mulai membasahi tubuh dan pakaianku hingga basah kuyup.

“Sialan!” umpatku, lalu meludah beberapa kali.

Tenagaku sudah di ambang batas. Aku tidak bisa bangkit lagi. Rasanya sangat ingin tetap berbaring dan terpejam. Namun, sebuah pekikan penderitaan kembali menyadarkanku. Kulihat di dinding goa, Jaya kembali menghardik Andini dengan amat sangat kejam.

“Lihat! Kekasihmu akan mati di sini!” Jaya menampar Andini beberapa kali hingga membuatnya menangis meminta pertolongan.

“A-Andini ....” Sementara itu, aku benar-benar sudah mencapai batas kemampuanku. Pesimis, aku merasa tidak akan mampu mengalahkan Jaya.

Sebetulnya, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai tidak dapat menyelamatkan Andini. Gadis itu, bagaimanapun, sedang membutuhkan bantuanku. Namun, apa yang aku bisa lakukan? Aku juga baru saja bisa menguasai kekuatan supernatural milikku. Aku jarang berlatih. Meskipun Wijaya berkata aku harus berlatih secara giat, aku tidak pernah mendengarkan sarannya itu. Di titik inilah aku mulai merasa menyesal. Gadis seperti Andini membutuhkan pertolonganku. Dan tentu saja, jika bukan aku, siapa lagi yang akan mengalahkan Jaya? Tak mungkin ada pengguna kekuatan lain meskipun aku curiga memang ada beberapa, entah di belahan bumi mana. Yang jelas, akulah yang menjadi satu-satunya harapan bagi Andini saat ini.

“Sekarang saatnya aku menghabisi dia. Aku yakin kau akan menangisinya.” Tampaknya Jaya berjalan ke arahku.

“JANGAN! Aku mohon!” Andini memohon dengan teriakannya yang menggema. Ia menahan kaki Jaya. Namun, dengan segera Jaya menendangnya. Ia melangkah kembali seraya menyeret sebuah golok yang tampak haus akan darah.

Lihat selengkapnya