Karena malam telah larut, kuputuskan membawa Andini ke rumahku. Entah benar atau tidak, gadis tersebut datang dari masa depan bertujuan mengembalikan ingatanku yang hilang. Andini mengaku diutus diriku di masa depan, tepatnya di tahun 2050. Memang, untuk diriku yang selalu hidup biasa-biasa saja, cerita yang dibawa Andini terkesan seperti sebuah mitos belaka. Bukan ingin mengkhianati kepercayaannya, hanya saja sangat sulit memercayai seseorang yang datang dari masa depan ke masa lalu. Semua itu, kurasa, hanya ada di film-film dan novel. Bahkan di dunia yang secara keseluruhannya telah dimigrasi ke bentuk digital ini, mesin waktu belum dapat diciptakan. Itu sesuatu di luar akal sehat. Waktu yang telah berlalu, tak akan pernah bisa diulang kembali. Bahkan waktu yang belum terjadi, hanya bisa diciptakan di masa kini.
Spekulasi sementaraku ialah: Andini mungkin mengalami delusi. Selain itu, dia juga terlihat seperti gadis pada umumnya, yang mengalami broken home di usianya secara lazim. Kemungkinan-kemungkinan tersebut, meskipun aku hanya memercayai diriku sendiri, sebisa mungkin aku tidak akan menyakiti Andini dengan menganggap semua ceritanya ialah kebohongan belaka.
“Kopi ini dulu kesukaanmu di tahun 2050. Kamu selalu bilang kalau kopi buatanku yang terbaik. Silakan, kamu coba!” Andini meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja. Lalu, ia duduk di sampingku sambil memperhatikanku.
Dari aromanya saja, kopi tersebut sangat berbeda dari kopi-kopi yang pernah kucoba. Jadi, kuputuskan menyeruputnya. Kusesap hingga tiga kali. Ada rasa yang sangat sulit dijelaskan, yang membuat kopi itu benar-benar berbeda dari yang lain. Juga indera perasaku benar-benar mengenal cita rasa yang hadir sesaat setelah menelannya ke dalam perut, tetapi pikiranku masih tak dapat menjangkaunya.
“Nikmat! Tapi ... aku belum bisa ingat—“
“Tidak apa-apa.” Andini tersenyum pasrah. “Semua butuh proses. Yang penting kamu sudah percaya padaku, Ndi. Itu sudah cukup bagiku.”
“Ngomong-ngomong, aku ingin lebih tahu tentang diriku di tahun 2050. Apa kamu bisa menceritakannya padaku, bagaimana awalnya aku sampai berada di tahun itu?”
“Pertemuan kita itu takdir. Begitu juga dengan hadirnya aku di sini. Ini takdir kita. Aku mungkin akan menceritakan ceritaku yang baru-baru ini kuketahui.”
“Oh, ya? Apa itu? Aku penasaran, nih.”
Andini mempersiapkan diri. Ia menghela napas dan mengatur posisi duduknya senyaman mungkin.
“Aku sebenarnya berasal dari tahun 2018. Meskipun pada awalnya aku mengira berasal dari tahun 2050, sekarang aku tahu mengapa aku selalu dihantui bayang-bayang kematian kedua orang tuaku. Wijaya bilang, orang tuaku dibunuh lelaki bertopi bernama Jaya, lelaki yang pernah kamu kalahkan di tahun 2050 demi menyelamatkan aku.
“Namun, karena gerbang dimensi belum sepenuhnya tertutup, aku pun menuju masa depan di usiaku yang ke sepuluh tahun. Artinya, aku melompati waktu dari tahun 2006 ke tahun 2038. Aku diadopsi sepasang suami-istri. Merekalah yang membiayai semua kebutuhanku. Memberikanku kasih sayang dan perhatian seperti anak mereka sendiri. Sayangnya, keduanya sudah lama meninggal dunia pada sebuah kecelakaan di tahun 2045. Aku juga ingat satu hal, Ndi. Sesuatu yang benar-benar tidak sempat aku katakan padamu di tahun 2050.”
“Sesuatu yang tidak sempat kamu katakan?”
“Iya. Yang membawaku ke tahun 2038 itu kamu.” Andini menunduk, lalu kembali mendongak. Dia menatap jauh dengan senyuman yang begitu tipis. “Kamu sudah melupakan aku untuk yang kedua kalinya.”
“Kedua kalinya? M-maksud kamu apa? Aku melupakan kamu? Dan ini yang kedua kalinya?”
Tidak dimungkiri, beberapa hal tidak dapat aku mengerti. Bagaimana mungkin aku melupakan orang yang sebenarnya tidak pernah kukenal sebelumnya? Namun, bila benar kami pernah saling mengenal, maka sungguh aku orang paling jahat di dunia ini karena telah melupakan gadis baik hati seperti dirinya. Aku tahu bagaimana rasanya dilupakan seseorang. Itu bahkan lebih buruk daripada ditinggal mati. Setidaknya, orang yang mati masih dapat kita temui di alam surga, kelak. Namun, bagaimana dengan orang yang sepenuhnya melupakan kita? Walaupun aku tak yakin seseorang bisa benar-benar lupa, sehingga bekasnya pun menghilang tiada sisa. Pasti saja ada yang diingat, sekecil apa pun itu.