“Aku akan kembali dan kau akan mati! Tunggulah aku! Akan kubunuh kekasih tercintamu! Semua orang terkdekatmu juga akan mati, Andi! Tunggu saatnya!”
Tidak kusangka, bisikan-bisikan yang tertangkap telingaku itu adalah mimpi buruk yang terus-menerus menghantui setiap tidurku. Tatapan jahat seorang lelaki terus membayang-bayang. Wajah Andini di dalam mimpiku tampak tak berdaya. Lelaki itu menganiayanya dengan kejam. Aku melihat diriku terkulai tak berdaya dengan beberapa luka dan darah di sekujur tubuhku. Hanya saja, ketika melihat orang yang menyiksa gadis itu, sama sekali tak dapat tampak dengan jelas. Seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi diriku untuk melihatnya.
Aku bangun dengan napas tersengal. Cucur keringat di tubuh membuat bajuku basah kuyup. Saat kutanggalkan bajuku, ada sesuatu yang terasa sakit di punggungku. Lalu, aku mengingat sebuah sweter merah yang digantung di belakang pintu kamar. Dengan segera aku masuk ke kamar tersebut dan memeriksanya. Benar saja. Ada yang aneh dengan sweter merah marun tersebut. Di bagian belakang, terdapat sobekan membentuk vertikal yang cukup panjang. Meski benda itu merupakan milikku, tetapi aku tak ingat pernah membelinya. Kapan tepatnya? Aku memang suka dengan warna merah. Namun, selama ini aku tidak pernah membeli sesuatu berdasarkan hal yang kusukai. Asalkan terlihat cocok, maka aku membelinya.
Jika dikaitkan dengan cerita Andini, kemungkinan besar sweter merah tersebut pernah kupakai ketika bertarung dengan lelaki itu. Benar sekali. Meski telah robek, entah mengapa aku sangat menyayangkan benda tersebut untuk dibuang. Seolah ada kenangan yang begitu berarti dan tidak ingin pernah aku lupakan. Bahkan saat tanganku menyentuh bagian yang robek itu, bayangan wajah Andini yang menderita kembali menghampiri kepalaku. Terasa seperti disengat listrik, makin ingatan itu tetap tampak, maka aku tak bisa membuka mataku karena merasa kesakitan.
“Itu aku yang membelikan kamu.” Andini tiba-tiba muncul di hadapanku tanpa kusadari. Aku yang tengah memegang kepalaku karena sakit, langsung menoleh ke arahnya.
“K-kamu? Jadi ... benarkah sweter ini yang kupakai saat bertarung dengan lelaki yang kamu ceritakan itu?”
“Benar. Lelaki bertopi itu berhasil melukaimu. Apa kamu merasa kesakitan di punggungmu?”
“I-iya.”
Andini mendekat padaku. Ia menyentuh kulit punggungku yang tak terlapisi sehelai pun kain. Dielusnya di bagian yang sakit dengan begitu lembut dan hati-hati. Kurasakan tangannya menempel di punggungku. Seketika itu juga, aku tak bisa mengelak dari sebuah debaran yang seolah-olah langsung menghantam diriku.
“Aduh!”
“M-maaf. Ternyata luka kamu terbuka lagi. Ini cukup parah. Karena setelah kepulangan kita dari goa, kamu tidak langsung mengobati luka-luka ini. Sedangkan, aku selama tiga hari istirahat di rumah dan pulih sangat cepat. Waktu itu, aku tidak sempat mengobatimu, Andi.” Andini bernada panik.
“Apakah lukanya cukup dalam?”
“Iya, lumayan. Bagaimana kalau kita obati lukamu ini? Apa kamu punya perban di sini? Dan kapas?”
“Ah, iya. Aku punya.”
“Kalau begitu, kamu harus mandi dulu. Nanti setelah itu aku akan membantumu mengobatinya agar tidak terbuka lagi.” Andini tersenyum tipis sambil meletakkan kedua tangannya di bahuku.