Tahun 2038
Tahun 2038 tidak sama seperti tahun 2050. Untuk fashion para pekerja kantoran belum berubah sepenuhnya. Orang-orang masih menggunakan pakaian kerja berwarna cokelat sebagai tanda bahwa mereka bekerja di sebuah instansi milik pemerintah. Katakan saja itu pakaian dinas yang tidak jauh berbeda di tahun 2018. Berbeda sekali dengan tahun 2050 yang mana semua orang harus menggunakan blazer fit yang press. Untuk potongan rambut standar juga masih sama seperti di tahun 2018. Yang banyak berubah hanya struktur bangunan. Segala gedung pencakar langit sudah banyak didirikan. Begitu juga dengan menara yang paling tinggi di pusat kota, yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah monitor raksasa. Menara itu disebut “Menara Selaparang” yang diambil dari nama kerajaan tertua di pulau Lombok. Tak lupa, ada beberapa sistem yang juga sudah mulai ada berdasarkan penuturan Andini waktu itu, yaitu anak-anak sekolah bisa memilih metode belajar mereka sendiri. Bahkan tak jarang mereka memilih belajar di rumah, menyaksikan guru menjelaskan di kelas seorang diri dengan beberapa kamera yang stand by menyorotnya beserta layar untuk menampilkannya.
Satu-satunya alasan mengapa aku dapat membawa Andini menuju tahun 2038, ialah karena tahun tersebut satu-satunya yang mampu menerimanya. Sementara di tahun-tahun lain, aku tidak bisa membawanya, sebab inilah peraturan waktu. Apalagi jika aku membawa Andini ke tahun 2018, hal itu akan menyebabkan aliran waktu bertabrakan. Aku tidak cukup mengerti mengapa, tetapi itulah yang Wijaya katakan. Lagi pula, sebetulnya aku tidak peduli di tahun mana pun Andini bisa hidup. Selama dia bisa bernapas, aku akan membawanya. Selain itu, Andini hanya bisa kembali ke tahun 2018 jika ia telah mencapai usia 22 tahun. Jadi, sangat mustahil membawanya ke tahun 2018. Aku memang tak pernah mencobanya. Tentu, aku tak cukup yakin dan tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Jadi, aku hanya bisa melakukan hal seperti yang Wijaya pernah lakukan karena kutahu, dulu pun ia pasti pernah punya gagasan sepertiku.
Pada tahun 2038, aku mendapatkan sebuah informasi: ada seorang wanita yang sangat menginginkan seorang anak gadis. Wanita paruh baya bernama Ibu Intan inilah yang akan merawat Andini dengan segenap kasih sayang yang ia miliki. Ibu Intan sendiri tinggal bersama dengan suaminya. Mereka adalah orang dari ekonomi kelas atas. Maka, aku tak ragu menitipkan Andini pada mereka. Gadis itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Hidupnya pasti dijamin dan dia tak akan kelaparan. Dia akan selalu berkecukupan. Bahkan jika dilihat dari raut wajah Ibu Intan, dia adalah sosok penyayang yang benar-benar merindukan kehadiran buah hati di dalam keluarganya. Untuk itulah, rasa percaya di dalam diriku benar-benar kuat untuk menyerahkan Andini pada mereka.
Setelah mendapatkan informasi yang memadai mengenai Ibu Intan, aku pergi ke rumahnya dengan berjalan kaki. Andini tak ingin digendong, katanya, sebab dia lebih suka berjalan bersamaku sambil memegang jari telunjukku yang pas dalam genggamannya. Sepanjang perjalanan, Andini tampak terpukau dengan segala hal yang dia lihat di kota modern tersebut. Dia senang ketika melihat mobil melintas, tersenyum dan matanya membulat saat melihat gedung-gedung pencakar langit. Juga selalu menelan ludahnya sendiri saat melihat seorang bocah tengah bersama ibunya membeli beberapa makanan di sebuah kedai.
Aku berhenti melangkah karena Andini tiba-tiba berhenti. Dia menatap seorang perempuan yang seusia dengannya tengah memainkan perangkat laptop di sebuah bangku memanjang di depan kedai yang menjual berbagai makanan dan minuman.