Aku bergeming ketika pertanyaan itu dilontarkan. Aku mengembuskan napas yang amat berat. Sebetulnya, bukan ide yang baik untuk membohongi seorang gadis kecil seperti Andini. Dia akan bertanya dan terus bertanya sampai mendapatkan jawaban yang sekiranya memuaskan hatinya. Yah, wajar saja karena dia masih anak-anak dan rasa penasarannya sangat tinggi terhadap suatu hal. Yang pasti, semua ini tidak kulakukan semata-mata untuk kepentinganku sendiri. Toh, pada akhirnya, aku juga akan kehilangan dirinya. “Mereka sedang sibuk, Sayang. Untuk sementara, Andini tinggal sama orang tua yang baru. Katanya mau ketemu Andi, kan? Andini tunggu aja dulu,” ucapku, selembut mungkin.
Pilu sebenarnya. Bulir-bulir bening sudah benar-benar ingin membanjiri pipi, tetapi aku mencoba bertahan. Mana mungkin aku mengeluarkan air mataku di depan gadis kecil itu. Dia akan terus bertanya mengapa aku menangis dan itu hal yang tidak bisa aku katakan padanya.
“Ibu Intan, Pak Warno. Saya serahkan semuanya kepada kalian. Saya mohon untuk merawat Andini dengan bijak,” ucapku setelah berdiri menghadap sepasang suami-istri tersebut.
“Baik, Nak. Kami sangat berterima kasih karena kamu sudah memberikan kami kesempatan untuk merasakan kebahagiaan bersama seorang anak. Ini kesempatan yang tidak bisa kami sia-siakan. Kami pasti akan merawat Andini. Kami akan menganggap dia seperti anak kami sendiri. Serahkan semuanya pada kami, Nak Andi.” Mereka pun tersenyum haru. Ibu Intan meletakkan tangannya di bahuku, seolah-olah untuk benar-benar meyakinkan diriku bahwa mereka mampu merawat Andini.
Selain itu, ya, tentu saja aku sangat percaya pada mereka karena kenyataannya, aku sudah melihat usaha mereka yang luar biasa. Aku telah melihat hasil kerja keras mereka yang membesarkan Andini dan tumbuh menjadi gadis yang begitu baik hatinya. Tak dimungkiri, bahkan hatinya masih sebening mutiara di masa depan kelak.