Aku pun harus melanjutkan hidupku meski sendiri di tahun 2018. Walau berkata begitu, nyatanya aku pernah tersesat ke garis waktu yang begitu jauh dari asalku. Tahun 1980. Aku melihat begitu banyak orang terkapar dengan luka bakar. Sebagiannya masih hidup. Sebagiannya lagi sudah tak bernyawa. Aku tak mengetahui mengapa diriku berada di garis waktu tersebut. Yang pasti, ketika aku melewati lorong dimensi, ada sebuah lubang yang menyedot diriku. Aku tak bisa menahan tarikan yang begitu kuat itu sehingga harus pasrah dan melihat diriku berada di dunia yang sama sekali tak kukenali.
Sebagaimana yang aku katakan, banyak orang terkapar dengan luka bakar. Hampir tak ada bangunan utuh. Yang aku lihat rumah-rumah sudah hancur sepenuhnya. Tanahnya terlihat seperti baru saja terbakar api dengan suhu yang tinggi sehingga asap mengepul-ngepul di udara. Bahkan kakiku yang mengenakan sepatu saja merasa cukup kepanasan.
Aku kebingungan setengah mati. Mataku mengedar mencari penjelasan atas ketersesatan yang aku alami. Jika menilik kembali tentang peraturan dimensi waktu, aku tak mungkin bisa bepergian ke garis waktu sejauh ini. Yah, meskipun aku belum pernah mencobanya. Aku hanya yakin tidak bisa. Lalu, takdir apa yang sebenarnya memanggilku ke garis waktu tersebut? Apakah untuk menyelamatkan orang-orang yang terkapar dengan luka bakar itu?
Ada beberapa hal yang menarik bagi mataku. Di tanah yang berasap-asap itu, aku melihat cukup banyak batu kecil dengan tekstur yang aneh. Bahkan di bawah sepatuku pun ada. Aku mengurungkan niat ketika ingin mengambilnya. Sungguh, batu tersebut tampak sangat panas. Kulit tanganku bisa melepuh jika memegangnya. Itulah hal menarik pertama yang sempat menjadi perhatianku.
Dan yang kedua, aku melihat bocah bayi yang tergeletak di tanah panas itu. Ketika aku hendak mendekat padanya, seorang perempuan berlari dan lebih dulu mengambilnya. Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya tengah terjadi di garis waktu tersebut?
Tak lama kemudian, bocah bayi tersebut menangis. Si gadis yang menemukannya berusaha menghibur bayi tersebut. Aku tak yakin dia akan berhasil. Selain itu, jika aku pergi membantunya, aku juga tak yakin bisa membantunya. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Lagi pula, aku tidak mengenal dunia tersebut. Entah aku ada di negara mana, aku pun tidak tahu itu.
Hanya saja, ketika mendengar si gadis yang menggendong bayi tersebut berucap kata, aku yakin seratus persen masih berada di negara Indonesia.
“Cup, cup, cup. Sudah, sudah. Jangan menangis, Adik Kecil.”
Sekiranya, begitulah kalimat yang keluar dari mulut si gadis berambut panjang sepunggung itu ketika aku berusaha memokuskan telingaku. Jika baru saja terjadi tragedi mengerikan di garis waktu tersebut, tak mungkin gadis itu bersikap begitu tenang dan santai.
Tak lama kemudian, aku melihatnya berjalan menuju sebuah rumah yang sebagiannya sudah hancur. Batu-batanya berserakan di mana-mana. Ya, hampir semua rumah di garis waktu tersebut terlihat seperti itu. Akan tetapi, tentu saja ada yang benar-benar hancur sampai-sampai tak terlihat seperti rumah lagi.
“Aneh sekali. Di mana aku sebenarnya?” batinku.
Untuk kembali ke tahun asalku itu sangat mudah sebenarnya. Aku sudah memeriksa ketersediaan portal waktu dan benar-benar masih ada. Sehingga itulah, aku pasti masih bisa membukanya untuk kembali ke tahun 2018. Sayangnya, aku sudah lebih dulu penasaran dengan garis waktu tersebut.
Akhirnya, aku memberanikan diri berjalan ke tempat si gadis tengah menggendong bayi tersebut.
“Anu ….”