Jumat, 9 Mei 2206.
Suara tipis berdering di sekitar telinga kiriku, hal itu sukses membangunkan tidur pulas disertai mimpi indahku. Hari ini tepat dua tahun aku bekerja di instansi pemerintah bidang teknologi dan mesin yang sudah lama kukejar. Sinar cahaya pagi menerobos kamar. Aku mengerjap menyapu ruangan 4 x 4 meter yang bernuansa putih ini. Jam digital hologram di atas meja menampilkan angka 06:10, masih terlalu pagi untukku. Siapa gerangan orang penting yang sepagi ini menelponku.
Sejenak aku mengganti posisi tidur ke arah samping, menelungkupkan selimut, dengan malas memencet tombol kecil di anting tindik telinga kiriku. Aku tak benar-benar membaca nama yang muncul di layar hologram dan langsung memilih ‘Accept’.
“Bonjour mademoiselle, comment allez-vous?[1]” Seru orang di seberang menggunakan bahasa nomor dua dunia itu. Dalam sekejap rasa kantukku hilang dan spontan terduduk. Semangat luar biasa menjalar ke seluruh tubuh, aku sangat kenal suara ini.
“Theo! Astaga, aku sangat merindukanmu! Bagaimana kabarmu di sana? Bagaimana pekerjaanmu? Lancar? Segeralah pulang! Bukan hanya aku, Ayah dan Ibu pasti juga sangat rindu.” Histeris aku meluncurkan banyak kalimat sembari mencoba meminta fitur video - yang tentu saja akan di ‘Decline’ olehnya. Tidak pernah sekalipun dia mau menggunakan fitur itu. Harusnya aku tak perlu berharap untuk kesekian kalinya.
“Seperti biasa kau tidak sopan.” Sahutnya.
Aku menghela nafas. “Oke aku ulangi. Bonjour monsieur. Je vais bien, merci.[2]” Kataku menjawab sapaan sebelumnya.
“Hmm, lumayan.”
Aku hanya memutar bola mata mendengarnya, aku memang tak terlalu mahir bahasa itu.
“Sekarang baru aku akan menjawab pertanyaanmu.” Terdengar Theo menarik nafasnya dalam. Aku menyeringai tipis mendengarnya karena bisa menebak bagaimana dia akan menjawab.