Kamis, 8 Mei 2206. Pukul 21:04 waktu setempat.
Aku menatap sekilas tampilan di layar hologram hasil proyeksi anting yang menggantung di telinga kiriku. Menggeser layar ke sembarang arah, otomatis menutup layanan setelah percakapan dengan Rhea yang berbeda waktu 10 jam lebih cepat. Aku berjalan ke arah jendela besar yang mengarah ke jalanan ibukota negara terbesar di dunia, Corazon. Dari kamar hotel lantai 60 ini, pemandangan di bawah tampak seperti taman kunang-kunang dengan semua kapsul mini berterbangan, mengangkut maksimal empat orang di dalamnya.
Aku tersenyum tipis, senang bisa mendengar suara Rhea di sela kesibukanku. Sudah terbilang sebulan aku tak menghubunginya, dalam kondisi normal aku bisa menelponnya seminggu sekali. Aku bersikeras tidak mau dihubungi olehnya, hanya aku yang boleh menghubunginya dahulu. Aku melarangnya melakukan telepati sejak aku pergi melintasi benua dengan alasan khawatir menganggu kuliah dan pekerjaan kami. Alasan konyol. Beruntung dia tidak banyak tanya soal itu. Lagipula dia memang sibuk, ambisius mengejar penelitiannya, tergila-gila dengan teknologi. Alasan sebenarnya, aku takut dia tidak sengaja mendengarku berpikir tentang yang seharusnya dia tidak terlibat di dalamnya. Sesuatu yang sudah kusembunyikan selama sembilan tahun. Kuliahku, pekerjaanku, liburanku, teman-temanku.
Semua itu omong kosong.