“Richi sudah menunggu.”
Perkataan William membuyarkan lamunanku.
“Oke.” Jawabku singkat
Aku dan William berjalan meninggalkan kamar hotel untuk menuju lift ke lantai paling bawah. Di lobi, Richard – yang biasa kami panggil Richi – sudah menunggu. Dia bersandar pada dinding marmer di sebelah pot bunga besar dengan tangan dilipat. Kami berjalan menghampirinya.
“Kau bawa microchip itu?” Aku menanyakan benda yang baru saja diambil dan ditinjau cepat dari pusat informasi markas. Kami membawanya secara fisik untuk meminimalisir jejak digitalnya. Kami tentu tak mau ‘mereka’ tahu kalau data ini telah sampai Corazon.
“Tentu, Theo.” Jawabnya singkat.
Kami bertiga langsung pergi meninggalkan hotel setelah check out. Kapsul pribadi yang disiapkan Richard telah menunggu. Tidak banyak warga dunia yang diizinkan memiliki kapsul pribadi, bahkan sekelas eksekutif perusahaan besar pun tetap harus menggunakan layanan taksi kapsul. Kebijakan menegaskan bahwa energi adalah milik semua, hanya pemimpin negara dan sepuluh orang kepercayaannya saja yang mendapatkan izin akses kapsul pribadi.
Setelah Richard memberikan instruksi suara, kapsul dengan cepat melenggang di jalanan utama, terbang sesuai koordinat destinasi yang diberikan di atas jalur tak kasat mata. Tak sampai satu jam kami sudah keluar dari ibukota. Kami melewati jalanan sepi, berbukit dan berkelok dihiasi pepohonan di kanan-kirinya. Hembusan angin setia menemani perjalanan, kicauan serangga malam pun tak ingin melewatkan perjalanan kami.