Paradox

Thaliba Faliq
Chapter #5

Si Manis

Aku sampai di lobi kantor persis setengah jam setelah keberangkatan. Taksi kapsul selalu tepat saat menginformasikan estimasi waktu tempuh. Pintu kapsul terbuka dan menutup kembali setelah memastikan aku sudah keluar. Lampu disekeliling kapsul kembali berubah hijau – tanda bahwa kapsul tak membawa penumpang. Robot penjaga pintu kantor dengan sigap menawarkan untuk membawa tas yang kujinjing, dia mengenali wajah salah satu ujung tombak kegiatan penelitian di instansi ini. Setelah kutolak, dia kembali terbang rendah ke posnya, aku tersenyum gemas melihat desain bulatnya dengan penampakan wajah yang hanya memiliki dua mata itu berdiam siaga di salah satu sudut.

Aku langsung berjalan ke tengah lobi, masuk ke dalam simbol lingkaran yang ada di lantai, menginstruksi dengan perintah suara. Lantai dibawahku segera mengurungku dengan selubung transparan, melesat naik ke lantai kerjaku.

Sama seperti kebanyakan gedung lain di luar sana, kantor ini berbentuk heksagon. Bedanya, desain yang dimiliki lebih menekankan pada konsep luas daripada tinggi. Memiliki teknologi paling canggih di ibukota, karena kamilah pencipta teknologi itu. Kantor instansi pemerintah ini hanya memiliki 10 lantai, namun luasnya tiga kali lipat dari gedung biasa. Ruanganku ada salah satu sudut lantai 9 – lantai para ujung tombak penelitian. Lantai ini dirancang sedemikian rupa hingga bisa terlihat separuh kegiatan riset dan produksi di dua lantai bawahnya.

Lantai 1 adalah lobi dan aula dimana kami biasa menyelenggarakan acara pertemuan besar. Lantai 2 sampai 5 adalah ruangan staff  yang dilengkapi pula dengan beberapa ruang meeting dan ruang riset kecil di sudut-sudutnya. Lantai 6 adalah ruang santai, istrahat, serta kafetaria yang menyediakan makanan cepat saji juga makanan khas setempat, disediakan oleh robot chef – robot yang juga buatan peneliti kami. Kami bahkan menyediakan taman hijau dan beberapa permainan di sana agar pegawai lebih segar saat kembali bekerja.

Lantai 7 merupakan bagian produksi. Semua hasil penelitian yang sudah memiliki desain rinci bisa dikerjakan prototipe dan hasil akhirnya di sini, robot pembantu peneliti dan mesin otomatis sangat berguna di lantai ini. Di utara dinding lantai 7, berjajar beberapa 3D-printer yang mampu menghasilkan bahan baku untuk pembuatan prototipe awal. Lantai 8 adalah ruang riset utama, terpampang di sana layar-layar hologram dengan data statistik perkiraan hasil penelitian yang sedang berlangsung. Di beberapa sisinya, teman-teman penelitiku biasa berdiskusi ringan atau sekedar mimum kopi. Lantai 10 adalah restricted area yang berisi ruangan data center.

Sampai di lantai kerja, aku disambut oleh Kanna. Dia bersandar santai di pintu ruanganku. Matanya terpejam dengan kepala terangguk-angguk, aku yakin dia sedang mendengarkan musik reggae favoritnya. Rambut hitam sebahunya tampak menutupi sebagian wajah dalam posisi itu. Kanna adalah rekan kerja yang membantu penelitianku tentang alat alternatif telekomunikasi ini. Dia juga sahabat baikku sejak mengambil magister. Seperti biasa, Kanna menenteng kantung kecil berisi perkakas kerjanya, obeng dan lain sebagainya. Dia memakai jumpsuit hijau tentara itu lagi hari ini, sudah pasti dengan alasan agar lebih mudah bergerak. Dia adalah salah satu manusia unik yang masih suka menyentuh langsung pembuatan prototipe di zaman yang semuanya bisa dikerjakan dengan bantuan robot dan mesin otomatis, agar lebih intens dengan si manis katanya – sebutan untuk tiap prototipe yang di quality control olehnya.

“Kanna.” Dia tak menjawab, matanya masih terpejam, tenggelam dalam musiknya.

“Oi, Kanna” kali ini aku menendang pelan kaki yang menjadi tumpuan sandarnya. Dia kaget, agak merosot dari posisinya, aku tertawa kecil melihatnya. Dia melakukan gestur menggeser layar hologram ke sembarang arah – layar yang hanya bisa dilihat oleh pemilik anting masing-masing.

“Yo, Rhe.” Dia mengangkat tangan kirinya yang bebas, menyapaku. Sapaan khas ini selalu membuat siapapun menjadi santai saat berurusan dengannya.

Lihat selengkapnya